Akhir tahun 2007 yang lalu kami menghadiri wisuda
putri kami yang telah menyelesaikan program magister di Universitas Padjajaran
Dipati Ukur Bandung. Dalam perjalanan menuju kampus, kami membaca spanduk yang berisi permintaan
maaf kepada pengguna jalan raya yang terganggu karena ada kegiatan wisuda yang
berlangsung selama 3 hari, yaitu 28, 29 dan 30 November 2007. Pada mulanya penulis bertanya dalam hati kenapa wisuda harus 3 hari?. Setelah mengikuti prosesi wisuda tersebut, penulis baru paham kalau Universitas Pajajaran pada gelombang 1 tahun 2007-2008
mewisuda lebih dari 2300 sarjana yang
terdiri dari S1, S2, S3, D3 dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga dilaksanakan
dalam 6 sesi dan setiap hari 2 sesi.
Namun ketika mengikuti acara wisuda, timbul lagi pertanyaan dibenak
penulis, kalau Universitas Pajajaran dalam satu gelombang mewisuda sebanya 2300
sarjana, berapa sarjana yang dihasilkan UNPAD dalam setahun? Berapa sarjana
yang dihasilkan PTN lainnya yang jumlahnya lebih 40 buah, berapa sarjana yang
dihasilkan PTS yang jumlahnya lebih dari 400 buah? Berapa banyak Indonesia
menghasilkan sarjana dalam setahun, berapa dalam 10 tahun, luar biasa. Para sarjana dan pakar
ini terdiri dari berbagai disiplin ilmu, Ilmu sosial, ilmu politik, hukum, kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi,
peternakan, farmasi, psikologi, tidak ketinggalan sastra dengan berbagai jurusan.
Pertanyaan berikutnya bagaimana dengan Ekonomi masyarakat, pertanian
kita, kesehatan publik, kesejahteraan rakyat? Dalam bidang pertanian misalnya, bila kita
mampir ke super market atau toko buah, kita menemukan berbagai macam buah import, duren Bangkok, pepaya Bangkok, jambu
Bangkok, pisang USA, anggur New Zealand, apel Amerika, jeruk Taiwan, bahkan pedagang buah keliling yang hanya menggunakan gerobak dorong
pun menjajakan buah import, lalu kemana apel Malang, jeruk Pontianak, pisang Sukabumi? Kita tahu bahwa hampir semua universitas
negeri Indonesia ada fakultas pertanian, bahkan kita punya institut pertanian
yang ternama, disisi lain kita punya lahan pertanian yang luas dan subur,
sehingga negara kita dijuluki dengan negara agraris. Dalam bidang ekonomi dan perdagangan petani di desa
mengeluh harga jual di pasar hasil pertanian mereka begitu murah, bahkan mereka enggan memanen hasil pertanian
mereka karena harga jual terlalu rendah, mereka lebih suka membiarkan hasil
tanaman mereka busuk di kebun, sementara konsumen mengeluh karena harga sayur terlalu
mahal, lalu dimana letak pembengkakan harga.
Contoh lain harga beras import yang melewati berbagai tangan dari
tingkat petani di luar negri sampai ke pedagang, sampai ke eksportir, importer,
pedagang, dan konsumen dalam negri lebih murah dari beras lokal yang hanya dari
petani, pedagang dan konsumen. Dalam bidang peternakan, sampai kapan kita harus
mengimport ayam dari Bangkok, daging dari Negara asing lainnya. Bila kita lihat
dari jumlah pakar dan sarjana, tentu Indonesia tidak kekurangan, meskipun tidak
dapat dikatakan lebih. Lalu apa yang kurang pada kita? Mari kita tanyakan pada
rumput yang bergoyang (H. Albazar M Arif) (Telah dimuat dalam media Buana Suara Edisi 8 Februari 2009 dan Buku Menjadi Hamba yang Peduli, H.Muchtar Bahar dan H Albazar M Arif, YPMUI 2014, Hal 55)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar