Rabu, 11 Maret 2015

APA YANG KURANG DENGAN KITA


Akhir tahun 2007 yang lalu kami menghadiri wisuda putri kami yang telah menyelesaikan program magister di Universitas Padjajaran Dipati Ukur Bandung. Dalam perjalanan menuju kampus, kami membaca spanduk yang berisi permintaan maaf kepada pengguna jalan raya yang terganggu karena ada kegiatan wisuda yang berlangsung selama 3 hari, yaitu 28, 29 dan 30 November 2007. Pada mulanya penulis bertanya dalam hati kenapa wisuda harus 3 hari?.  Setelah mengikuti prosesi wisuda tersebut, penulis  baru paham kalau Universitas Pajajaran pada gelombang 1 tahun 2007-2008 mewisuda lebih dari 2300  sarjana yang terdiri dari S1, S2, S3, D3 dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga dilaksanakan dalam 6 sesi dan setiap hari 2 sesi.
Namun ketika mengikuti acara wisuda, timbul lagi pertanyaan dibenak penulis, kalau Universitas Pajajaran dalam satu gelombang mewisuda sebanya 2300 sarjana, berapa sarjana yang dihasilkan UNPAD dalam setahun? Berapa sarjana yang dihasilkan PTN lainnya yang jumlahnya lebih 40 buah, berapa sarjana yang dihasilkan PTS yang jumlahnya lebih dari 400 buah? Berapa banyak Indonesia menghasilkan sarjana dalam setahun, berapa dalam 10 tahun, luar biasa. Para sarjana dan pakar ini terdiri dari berbagai disiplin ilmu, Ilmu sosial, ilmu politik, hukum, kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, peternakan, farmasi, psikologi, tidak ketinggalan sastra dengan berbagai jurusan.
Pertanyaan berikutnya bagaimana dengan Ekonomi masyarakat, pertanian kita, kesehatan publik, kesejahteraan rakyat? Dalam bidang pertanian misalnya, bila kita mampir ke super market atau toko buah, kita menemukan berbagai macam buah import, duren Bangkok, pepaya Bangkok, jambu Bangkok, pisang USA, anggur New Zealand, apel Amerika, jeruk Taiwan, bahkan pedagang buah keliling yang hanya menggunakan gerobak dorong pun menjajakan buah import, lalu kemana apel Malang, jeruk Pontianak, pisang Sukabumi?  Kita tahu bahwa hampir semua universitas negeri Indonesia ada fakultas pertanian, bahkan kita punya institut pertanian yang ternama, disisi lain kita punya lahan pertanian yang luas dan subur, sehingga negara kita dijuluki dengan negara agraris. Dalam bidang ekonomi dan perdagangan petani di desa mengeluh harga jual di pasar hasil pertanian mereka begitu murah, bahkan mereka enggan memanen hasil pertanian mereka karena harga jual terlalu rendah, mereka lebih suka membiarkan hasil tanaman mereka busuk di kebun, sementara konsumen mengeluh karena harga sayur terlalu mahal, lalu dimana letak pembengkakan harga.
Contoh lain harga beras import yang melewati berbagai tangan dari tingkat petani di luar negri sampai ke pedagang, sampai ke eksportir, importer, pedagang, dan konsumen dalam negri lebih murah dari beras lokal yang hanya dari petani, pedagang dan konsumen. Dalam bidang peternakan, sampai kapan kita harus mengimport ayam dari Bangkok, daging dari Negara asing lainnya. Bila kita lihat dari jumlah pakar dan sarjana, tentu Indonesia tidak kekurangan, meskipun tidak dapat dikatakan lebih. Lalu apa yang kurang pada kita? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang (H. Albazar M Arif) (Telah dimuat dalam media Buana Suara Edisi 8 Februari 2009  dan Buku Menjadi Hamba yang Peduli, H.Muchtar Bahar dan H Albazar M Arif, YPMUI 2014, Hal 55)





BEBAN PSIKOLOGIS GURU


Ketika penulis menyaksikan upacara hari pendidikan nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei 2012 melalui layar televisi, penulis begitu kagum dan bangga, betapa besarnya perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap dunia pendidikan kita. Akan tetapi, dibalik itu semua, penulis merasa sedih terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan di tanah air tercinta. Dan yang lebih memprihatinkan ialah,Betapa beratnya beban psikologis pak guru, ibu guru, serta para pendidik di tanah air”. Pembaca mungkin bertanya kenapa para pendidik kita memikul beban mental yang begitu berat? Jawabnya sederhana, yaitu tidak sesuai antara teori dengan kenyataan. Amat dalam maknanya, amat vital peranannya dan amat fatal bila mengabaikannya.
Para pendidik di sekolah atau di lembaga pendidikan lainnya baik formal atau non formal dengan segala daya dan upaya mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai luhur yang mulia dan terpuji kepada anak didik mereka seperti kasih sayang, kesabaran, tata krama pergaulan, kejujuran, pakaian yang sopan. Tentunya ini mengacu pada tujuan pendidikan nasional kita yaitu,Membentuk manusia susila yang cakap, warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan Negara”.
Namun ironisnya nilai-nilai luhur yang diberikan oleh guru di sekolah amat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sehingga apa yang diberikan oleh para pendidik di sekolah hilang tanpa bekas. Beberapa contoh: disekolah, guru mengajarkan muridnya tata krama dan sopan santun dalam berbicara yaitu bahasa yang sopan, bicara lembut, tidak kasar. Kenyataan dalam masyarakat orang seenaknya bicara kasar, kotor, dan jorok seperti “sialan lo, tai lo, anjing lo, babi lo, gue tonjok lo”. Contoh lain disekolah guru mengajarkan kepada murid sifat sabar, menahan diri, kenyataan dalam masyarakat semua kegiatan berakhir ricuh, konser musik ricuh, sepakbola ricuh, pembagian sembako ricuh, penertiban pedagang kaki lima ricuh bahkan rapat-rapat di lembaga tinggi Negara berakhir ricuh, perkelahian antar  kelompok, bahkan antar penjaga keamanan Negara pun terjadi bentrok yang menyebabkan jatuhnya  korban jiwa.
Contoh lain di sekolah pendidik mengajar anak didik dengan sifat jujur, kenyataan dalam masyarakat sifat jujur ini sulit ditemukan, ini terbukti dengan banyaknya kasus penipuan, kebohongan, manipulasi, korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini diperkuat dengan banyaknya tokoh-tokoh masyarakat, pemimpin-pemimpin, pejabat Negara anggota dewan perwakilan yang terhormat, jaksa dan hakim yang mulia, seperti mentri, gubernur, bupati, walikota yang terpidana, terdakwa, tersangka, bahkan ada yang buron (DPO) karena mereka terlibat kasus korupsi dan ini pertanda hilangnya nilai kejujuran di kalangan pemimpin. Contoh lain di sekolah, guru mengajarkan anak didiknya untuk berpakaian sopan dan tidak membuka aurat, namun pada kenyataan dalam masyarakat banyak ditemukan tontonan yang berbau pornografi, porno aksi baik melalui televisi, internet, juga media massa lainnya.
Melengkapi contoh-contoh diatas penulis pernah jadi dosen mata kuliah kewarganegaraan di perguruan tinggi negeri dan swasta di Jakarta. Penulis menyampaikan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan individu dan kelompok. Selesai memberi kuliah, ketika akan pulang, seorang mahasiswa berbisik kepada penulis. “Pak apa yang bapak katakan tadi sekarang adanya di atas kertas pak? Ditengah masyarakat, mana ada orang yang mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan. Orang sekarang sebelum berbuat, mereka akan berfikir dan bertanya mereka dapat apa, dan mereka kebagian berapa”. Nah inilah realita yang terjadi di tengah masyarakat dan ini pula lah yang menjadi beban bagi para guru, mereka harus menghadapi kenyataan pahit dan bertolak belakang dengan apa yang mereka sampaikan didepan anak didik mereka, semoga para guru dan para pendidik tidak berputus asa menghadapi kenyataan ini dan senantiasa teguh dalam menunaikan tugas-tugas mulia yang mereka emban. Amin. (H. Albazar M Arif, dari Manjadi Hamba Yang Peduli, YPMUI 2014, halaman 59












Rabu, 04 Maret 2015














Undang-Undang Adat Minangkabau
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktora Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
1992-1993
Halaman viii/106 halaman


Buku ini salah satu dari sejumlah buku hasil Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan telah mengkaji dan menganalisis naskah-naskah lama di antaranya naskah kuno Sumatera Barat yang berjudul Undang-Undang Adat Minangkabau isinya tentang asal-usul masyarakat dan tokoh-tokoh pemimpin Minangkabau serta ajaran tentang filsafat adat Minangkabau; silsilah keturunan, dam kaitan kekerabatan kaum otokrasi Pagaruyung yang sering dianggap sebagai “raga” Minangkabau, dan mengenal undang-undang adat Minangkabau.

Nilai- nilai yang terkandung di dalam naskah ini adalah nilai adat dan budaya serta nilai agama yang dapat menunjang pembangunan, baik fisik maupun spirituil.

Buku ini salah satu koleksi perpustakaan kawan kito H Al Bazar Arif
















Bako
Penulis, Darman Moenir
Penerbit, Balai Pustaka
Cetakan 1-1983, Cetakan 2-1994, dan Cetakan 3-2000
102 halaman

Roman-roman terbitan Balai Pustaka sebelum perang dikenal orang sebagai banyak memasalahkan perlawanan terhadap adat istiadat yang mengungkung. Ini tampak dalam roman-roman Siti Nurbaya dan Salah Asuhan.

Darman Moenir, seorang penulis muda kita, dalam roman “Bako” ini juga menulis tentang pemberontakan terhadap adat dengan segi-segi permasalahan yang lain. Di samping itucerita roman ini terasa ditulis dan bercerita pada kita dengan intens dan menarik. Lagipula roman ini salah satu pemenang utama sayembara penulisan roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1980.

Kilasan pemberontakan terhadap adat terlihat jelas dalam dialog, ayah, umi dan Man yang dapat dibuka  pada halaman 29, “Dan paling tidak direlakan masyarakat kampung adalah perkawinan ayahku, agaknya. Pada titik-terakhir, mereka menginginkan agar ayahku kawin lagi dengan seorang perempuan yang berasal dari kampong mereka sendiri.”
“Man, ketika kau berusia lima tahun, aku tidak dapat menghindar dari anjuran untuk kawin lagi. Umi dan Bak Tuokau pun berkeras-keras menyuruhku. Alasan mereka adalah untuk mencoreng arang yang melekat di kening.”
“Maksud Ayah?”
“Ya, karena aku sebagai salah seorang anak-kampung mereka, tapi sudah melangkahi cara-cara perkawinan yang ada. Hal ini baru bias ditebus jikalau aku sudah menikah dengan salah perempuan di sini”

Bagi peminat novel ini dapat menghubngi Balai Pustaka Jakarta dan buku ini salah satu dari koleksi perpustakaan pribadi H Al Bazar Arif.



Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang













Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang
Penulis, Editor, Ed Zoelverdi, Junisaf Anwar, Nazif Basir
15/328halaman
Penerbit, BK3AM (Badan Koordinasi Kemasyarakatan/Kebudayaan Alam Minangkabau) DKI Jakarta
Edisi I-1995


Buku ini  dibuka dek Ketua Umum BK3AM, H.Is.Anwar Dt dengan  Rajo Perak  denga  kutipan ayat "Allah berfirman: Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan; dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berpuak-puak, supaya di antara kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. QS Al-Hujurah, 13.".

Buku ini menceritakan profil dari orang Minang sebanyak 131 orang  dengan   berbagai latar belakang, asal usua dan profesi, dengan kekhususan perjalanan hidup yang patut untuk dikaji dan diambil manfaatnya.

Tujuan lain dengan penerbitan buku ini adalah dalam semangat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa inilah, kami sajikan buku Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang ini. Kami menyadari, masih banyak yang kurang dalam buku edisi pertama ini. Namun, menurut hemat kami, lebih baik bertahap menyempurnakan yang ada ketimbang mencari kesempurnaan dalam angan-angan.


Dari segala pemahaman yang dipaparkan tadi, dengan segala kerendahan hati, kami persembahkan buku kecil ini ke tengah siding pembaca. 

Buku ini tidak tersedia di toko buku, sekarang ada di perpustakaan pribadi H Al Bazar Arif yang tinggal di Kelapa Gading.

Pedoman Pengalaman Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru














Pedoman Pengalaman
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru
Halaman, x/219
Gebu Minang Pusat, 2011

Menghadapi berbagai tantangan dan realitas yang tidak kondusif itu, maka tidak ada pilihan, kecuali perlunya sebuah strategi kebudayaan dan politik. Dalam bacaan saya, Naskah Seminar Kebudayaan Minangkabau 2010 telah memberikan kerangka yang relatif komprehensif menyangkut strategi kebudayaan dan politik tersebut. Bagaimanapun kerangka itu memerlukan political will kepemimpinan birokrasi kepemerintahan; dan juga kesediaan kepemimpinan agama dan adat untuk membangun kesepakatan, baik pada tingkat konsep, kerangka, dan praksis konsolidasi kultural suku bangsa Minangkabau tersebut. Tanpa itu, keinginan untuk perubahan kearah lebih baik, bisa berarti bahwa ‘kaum’ Minangkabau itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya.

Professor Azyuamardi Azra memberikan catatan khusus tentang buku ini, “Dalam kehidupan sosial budaya, perubahan-perubahan yang dimunculkan pembangunan (modernisasi) Orde Baru, menimbulkan urbanisasi yang berlangsung dan meningkat secara cepat di Sumatera Barat – seperti juga terjadi di banyak wilayah di Indonesia lainnya. Semakin banyak anak-anak muda Minang yang masih bujangan dan yang sudah berumahtangga—baik laki-laki maupun perempuan—yang merantau ke wilayah-wilayah urban, baik di lingkungan Sumatera Barat sendiri maupun ke wilayah-wilayah lain. Nagari, surau dan lubuk tapian pun ditinggalkan; banyak persawahan dan lahan-lahan perkebunan dibiarkan begitu saja menyemak membelukar.

Buku dengan lebih 200 halaman ini patuit kito kaji un tuak kito terapkan dalam kehidupan sahar-hari. Bilamana berminat dapat menghubungi Gebu Minag Pusat Jl. Kayumanis I No. 24, Jakarta Timur, 13130.(Ilhamsyah PR)