Kamis, 26 Februari 2015

HUBUNGAN RANAH DAN RANTAU MINANGKABAU Potensi Bom Waktu Masyarakat Adat Minangkabau

1.   Luhak dan Rantau

Minangkabau, lazim disebut dengan Alam atau Ranah Minangkabau terdiri dari 2 bagian yang tak terpisahkan yaitu Luhak nan Tigo dan Rantau nan Tigo.

Luhak nan Tigo disebut dengan Daerah asli Minangkabu adalah Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limopuluh Koto.

Rantau nan Tigo, Rantau Pesisir Padang Pariaman, Rantau Timur sepanjang aliran sungai Kampar Kiri Kampar Kanan, Indra Giri dan Batanghari yang bermuara di Selat Malaka dan menyeberang sampai ke Sememnanjung Malaya (Malaysia sekarang). Di daerah lain dimana terdapat perantau Minang disebut dengan Rantau Batuah.

2.   Hubungan Ranah dan Rantau

Penolakan gagasan kongres Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang oleh 25 kelompok organisasi dari Ranah mencerminkan tidak serasinya hubungan Ranah dan Rantau pada tingkat elite Minangkabau.

Keadaan ini menarik bila dikaji perkembangannya, dibandingkan semangat rantau sejak awal.

Pada taraf awal orang Minangkabau meninggalkan kampung halamannya secara sukarela. Dilepas sanak keluarganya dengan perasaan haru. Dibekali dengan doa dan ajaran adat merantau yang mengena, Diharapkan kembali membawa hasil dari rantau. Hubungan perantau dengan karib kerabat yang ditinggal masih sangat akrab dan menyatu. Secara fisik mereka memang berpisah, secara rohaniyah mereka tetap menyatu.

Pepatah mengajarkan “jauh dimato dakek dihati, bapisah bukannyo bacarai”.

Demikianlah gambaran hubungan perantau dengan dunsanak mereka diranah minang tahap awal. Masih mesra.

Alam senantiasa berubah. Pola hubungan Ranah dan Rantau pun juga berubah. Kalau dulu pola hidup merantau sesuai gurindam sbb:

            Karatau madang diulu
            Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Diruma baguno balun
           
Satinggi tinggi tabang bangau
Pulangnyo ka kubangan juo
Sejauah jauah rantau
Pulangnyo ka kampuang juo

            Sesuai gurindam adat diatas maka tujuan orang Minang merantau ada dua yaitu:
·         Supaya menjadi orang yang berguna. Berdaya guna.
·         Pulang membawa hasil dari rantau. Berguna bagi ranah.

Pada taraf awal, perantau Minang secara fisik selalu pulang kampung setidaknya sekali setahun menjelang Lebaran. Bahkan, sering penghasilan memeras keringat setahun habis untuk bekal pulang. Namun, pulang kampung tetap dipaksakan juga demi melepaskan rindu kampuang halaman. Membawa oleh-oleh sekedarnya untuk dunsanak di kampung. Begitulah pola hidup perantau taraf awal. Namun, sedikit demi sedikit pola hidup rantau ini berubah.

Mereka yang berhasil menjadi sibuk mengurus keberhasilannya dirantau. Mengurus tugas dan jabatannya, mengurus dagangannya, mengurus anak-bininya dirantau, dan rumah tangganya. Akhirnya mereka tidak punya waktu lagi untuk pulang kampung. Organisasi kekerabatan sering mendorong perantau tipe ini untuk “Pulang Basamo” yang bertujuan untuk tetap mengingatkan perantau Minang akan kampung halamannya. Menunjukan keberhasilannya dirantau dengan menggerakan bantuan-bantuan pembangunan di nagari masing-masing, serta mendorong pariwisata bagi anak-anaknya yang lahir dirantau. Mereka belum pernah melihat kampuang halaman orangtuanya. Tujuan semuanya adalah pulang membawa hasil dari rantau yang berguna bagi Ranah Minang seluruhnya.

Bagi perantau yang kurang berhasil. Pulang kampung bagi mereka mejadi beban mental dan financial. Mereka takut diejek dan dicemooh yang sudah menjadi kebiasaan buruk orang awak. Pergi keromutan mencarikan “punggung nan indak basaok”, pulang kampung tetap menggadai sawah amai. Malu pulang kampuang dan berat karena biaya yang memang susah didapat. Mereka melahirkan papatah baru berbunyi sbb;

Dari Maek ka Koto Gadang
Bakelok jalan ka Pasa Ibuah
Kok bansaek ka dibawo pulang
Eloklah rantau di Pajauah

Keinginan hati hendak pulang sama besarnya dengan mereka yang berhasil, apa daya tangan tak sampai.

Fakta sejarah membuktikan. Satu demi satu perantau Minangkabau, yang sukses maupun yang gagal memulai pola hidup sebagai perantau menetap atau perantau cino. Kampung halaman yang sudah merupakan masa lampau. Tinggal kenangan.
Sebaliknya bagi masyarakat adat di Alam minangkabau di Tigo Luhak, maupun dirantau dakek Padang, Pariaman, Pesisir dan Rantau Timur, mereka perantau pemukim/ perantau cino ini sudah dianggap dan diperlakukan seperti orang asing pula, orang datang yang sudah hampir tak dikenal. Para perantau sudah dianggap “tamu” di Nagarinya sendiri.

Pepatah Minang yang berbunyi “Nan tuo dihormati, samo gadang ajak bakawan. Nan ketek dilindungi” tidak berlaku bagi perantau cino.
Dari perantau cino mereka hanya butuh bantuan “pitih”. Bantuan dalam bentuk nasihat, pemikiran, saran-saran, konsep jarang mereka terima. Prinsip mereka sederhana “Kami lebih tahu urusan kami dari anda para perantau” yang kami butuhkan hanya pitih, sekali lagi pitih. Dengan pitih bereslah segalanya (AMS.TJ-2.103).

Demikianlah pola hubungan masyaramat adat Minangkabau dengan para perantau diawal abad XXI ini. Hubungan yang hanya bersifat materialistis, yakni hubungan “pitih”.

Akibatnya hubungan Ranah dengan Rantau hanya sebatas hubungan materi belaka. Kendatipun konkritasi hubungan itu mungkin sekali dalam bentuk gedung sekolah, tempat ibadah, sarana olahraga, dan balai kesehatan yang akhirnya bermanfaat bagi kebutuhan immaterial. Tapi intinya hanya sebatas “pitih”.

Tidak jelas nampak adanya transformasi Ilmu Pengetahuan dan Hubungan emosional antara perantau dengan dunsanak mereka di Nagari. Hasilnya kemajuan pemikiran dan pengalaman yang diperoleh dirantau tidak banyak bermanfaat bagi kemajuan di Ranah Minang sendiri. Sebaliknya, banyak perantau yang sudah tidak peduli lagi dengan kondisi dan situasi di Ranah Minang. Mereka dengan mudah melanggar ketentuan adat. Melakukan perkawinan sesuku dengan hanya sekedar membayar “Uang lompat pagar”, menjual Tanah Pusaka Tinggi mereka dengan aneka cara dan dalih, mereka mampu melakukan itu karena memang punya uang. Sebaliknya warga di kampung bisa pula menerima karena mereka butuh uang. Astaghfirullahiladzim.

Kalau diteliti lebih dalam, pola hidup orang Minang baik di rantau maupun di ranah sudah cenderung pada pola hidup individualistis sesuai pemeo “Hang marahang, heng mereheng. Ang bakjanyo ang, den bakjanyo den”. Pola pikir hidup komunal sudah sangat menipis. Tak perlu lagi terlalu dipikirkan hidup dan kehidupan kemenakan di hari esok, yang penting hidup hari ini dengan anak bini sendiri (AMS.TJ-2.104).

Masalah kita, kapan pola hidup sesat semacam ini akan kita hentikan, kalau memang kita tidak ingin masyarakat adat minangkabau ini tenggelam ditelan sejarah?

3.   Fakta Objektif Alam Minangkabau

·         Pendukung adat budaya Minangkabau di awal abad XXI ditaksir mencapai 12 juta orang baik di Ranah maupun di Rantau. Mereka yang bermukim di Ranah Minang kurang lebih 4 juta orang. Sisanya berada di Rantau seluruh Indonesia sekitar 8 juta orang. Pendeknya 2/3 bagian pendukung budaya Minang berada di Rantau, hanya 1/3 yang bermukim di Ranah Sumatera Barat.

Dr. Mochtar Naim (1980) dalam disertasinya yang dibukukan berjudul Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau menyebutkan, alasan orang Minangkabau merantau antara lain lebih dari separuh orang Minang merantau karena dorongan ekonomi, seperempatnya mencari ilmu, dan sisanya karena kondisi social lainnya.

Dengan asumsi sebagian besar perantau mencapai tujuannya, hal ini berarti kehidupan ekonomi dan ilmu pengetahuan orang rantau bertambah baik.

Bila rezeki yang berlebih dan ilmu pengetahuan yang bertambah ini disumbangkan sebagian ke kampung halaman masing-masing, pastilah akan menambah kemakmuran dan peningkatan pengetahuan masyarakat di Sumatera Barat dimana orang Minang sebagian bermukim. Masalahnya adalah apakah transformasi ekonomi dan pengetahuan ini berjalan tanpa kendala dari Rantau ke Alam Minangkabau? (AMS.TJ-2.105).

·         Indeks prestasi pendidikan nasional menunjukkan Sumatera Barat menempati posisi ke-29 dari 30 propinsi yang ada (Tahun 2004) di N.K.R.I ini.
Dengan Indeks prestasi yang rendah ini dapat diartikan secara prorate orang-orang Minang yang berada di Rantau secara teoritis punya indeks prestasi lebih tinggi dari mereka yang menetap di kampung halaman.

Kalau transformasi Ilmu Pengetahuan orang Rantau ke Ranah Minang berjalan lancar, mestinya indeks prestasi pendidikan di Sumatera Barat minimal sama dengan Propinsi tingkat menengah lainnya, bukannya hanya selangkah dari yang paling bawah. Memalukan.

Pengetahuan dan pengalaman hidup orang Rantau tidak mengalir dan tidak meresap kedalam pikiran dan perasaan  dunsanaknya di kampung halaman, hanya “pitih” yang berhasil mengalir kedalam kantong para dunsanaknya di Ranah.
·         Tahun 2000 sebanyak 38.403 dari 551.394 balita di Sumatera Barat menderita busung lapar. Busung lapar memang masih terdapat dimana-mana, namun secara presentasi Sumatera Barat adalah yang tertinggi di Indonesia. Kurang makan, sangat memalukan.

Anak balita adalah generasi masa depan kita. Mungkinkah kita dalam masa 20-25 tahun mendatang mengharapkan lahirnya generasi cemerlang (Superstar) dari balita busung lapar dilihat dari sudut kesehatan, kecerdasan dan pertumbuhan generasi. Bukankah kemungkinannya adalah kita akan menemui generasi idiot?.

Pepatah mengatakan “gabak diulu tando ka hujan, cewang dilangik tando ka paneh”. Generasi apa yang akan lahir dari balita busung lapar? Marilah kita bersama-sama merenungkan ini!

4.   Tanah Tertinggal bukan Daerah Tertinggal

Dua pertiga orang Minang hidup di Rantau. Mula-mula hanya merantau semusim paling lama setahun, kemudian pulang kampung. Lama-lama menjadi perantau pemukim tetap atau perantau cino.

Fakta menunjukkan sudah banyak di tiap Nagari, seluruh anggota sejurai, atau bahkan saparuik sudah tinggal di Rantau sebagai penetap. Akibatnya, sudah tidak ada lagi yang menghuni rumah Gadang dan rumah-rumah keluarga batih.

Sudah banyak dari kelompok sajurai dan saparuik yang meninggalkan kampung halamannya, sawah-ladang, Tanah Ulayatnya dan seluruh Harta Pusaka Tingginya. Sebagian dari sawah-ladang itu ditinggal dalam keadaan terurus, karena masih ada dunsanak jauh yang masih mau mengelola dan membagi hasilnya. Namun, sudah banyak pula Harta Pusaka Tinggi yang tidak terurus dan dibiarkan menjadi tanah tertinggal yang semakin lama semakin tidak terurus dan tidak menghasilkan. Para perantau kelompok ini sudah mulai berpikir, bagaimana kalau dijual saja dan hasilnya dibawa kerantau. Mereka sudah mulai berpikir Harta Pusaka Tinggi dan Tanah Ulayat itu sudah merupakan milik pribadi dan kelompok mereka, bukan lagi milik komural anak kemenakan generasi penerus.
Masalah ini kami anggap bom waktu yang akan memporak-porandakan salah satu fondasi kekuatan adat Minang yaitu Harta Pusaka Tinggi yang tidak boleh diperjual-belikan. “Tajua indah dimakan bali, tagagai indak dimakan sando”. Di berbagai daerah sudah terjadi jual-beli Harta Pusaka Tinggi, termasuk rumah Gadang yang dijual ke pihak asing.

Pagang Gadai sudah dirubah dengan istilah “Beli Putuih” dengan tertulis diketahui oleh pengurus K.A.N. Pola ini merupakan mulai rontoknya adat dari dalam. Sadarkah kita akan bahaya ini?

Adat Minang benar-benar sudah berada dipinggir jurang. Kawin sasuku sudah diberi jalan keluar. Penjualan Harta Pusaka Tinggi sudah dilakukan secara diam-diam. Bom-bom waktu ini akan menghancurkan sendi-sendi adat yang utama yaitu system kekerabatan matrilineal dan hukum Harta Pusaka Tinggi yang tidak bleh diperjual-belikan karena bukan milik pribadi melainkan tetap milik komunal berkelanjutan generasi.

Marilah kita bangkit menjinakkan bom-bom waktu adat budaya Minangkabau ini. Semoga Masyarakat Adat Minangkabau akan terhindar dari ledakan dahsyat yang akan menghancurkan warisan nenek moyang yang berusia lebih dari 5000 tahun ini. La Haula wala Quwwata Illa Billah. Allahu Akbar (Oleh   H. Amir M.S. Dt. Mangguang nan Sati)

Kamis, 19 Februari 2015

Perantau Dan Kepedulian Pada Sesama


CONTOH-CONTOH

Sumardi, Sumedang (40 tahun) seorang pengusaha Tahu Sumedang sejak dua tahun yang lalu mencoba maju bersama dengan orang-orang kecil di sekitarnya. Sebagai pengusaha tahu, setiap bulan ia membutuhkan keranjang tempat pencucian kedelai, plastik, dan kertas. Usaha dengan omzet hampir 20 Juta Rupiah sebulan memungkinkan dijalankan dengan baik, karena ada orang kecil disekitarnya yang ikut andil. Keranjang dan tempat pencucian kedelai dibuat oleh para perajin bambu di desa dengan kehidupan dibawah garis kemiskinan. Plastik telah dipasok oleh pedagang plastik di Sumadang, sementara penjualan dilakukan oleh para pedagang kecil keliling di berbagai daerah baik di Sumedang, Cirebon, Tasikmalaya dan daerah lain.

Sumardi melakukan ini karena ia memiliki visi bahwa “maju dan untung” akan semakin langgeng kalau dilakukan bersama-sama.

Effendi Arsyd asli Bandung, bekas Camat di beberapa daerah di Kabupaten Tangerang, dan saat ini sebagai Kabag pemerintahan Desa Kabupaten Dati II Tangerang, kembali tinggal di Pamulang, Ciputat, setelah berpindah-pindah sesuai dengan tugas yang diemban.

Kembali tinggal di Pamulang, ia melihat aktivitas masjid di lingkungannya tidaklah se intensif ketika ditinggalkan tujuh tahun yang lalu. Ia melihat banyak hal dapat dilakukan untuk menggiatkan kembali kegiatan pemberdayaan masyarakat. Ia mulai mengajak pengurus untuk melihat kedepan dan potensi yang ada di lingkungannya. Beberapa ide mulai dijabarkan, seperti kegiatan ekonomi jamaah melalui Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)

BMT Al Inayah, dirintis dua tahun yang lalu dengan basis keluarga di perantauan. BMT dengan layanan pengumpulan dana bersama dan membantu bagi anggota keluarga yang memerlukan, saat ini telah diikuti 49 anggota. Tercatat dana dari anggota hampir 7 Juta Rupiah.

Dalam dua tahun telah dapat dilayani 14 orang dengan nilai akumulasi layanan keuangan yang mencapai 8 Juta Rupiah. Dalam periode itu, sisa bagi hasil dari layanan keuangan mencapai 650.000. Malahan anggota BMT masih dapat menyisihkan infaq bagi keperluan di kampung halaman, seperti dukungan bagi guru ngaji, kegiatan desa, dan lain-lain.

KENAPA?

Tiga contoh diatas adalah ilustrasi dari kepeduliah=n hamba Allah pada sesamanya. Akan banyak sekali deretan contoh nyata bagaimana seorang hamba Allah membagi waktu, pengalaman, ilmu, tenaga, dan bahkan sebagian rezeki ilahi kepada sesamanya. Barangkali inilah yang sering disebut dengan Da'wah Bil Hal. Mari kita lihat sebetulnya apa yang menjadi pendorongnya. Pling kurang ada tiga faktor utama.

Pertama, Visi terhadap kehidupan dan penghidupan yang dijalankan. Keinginan menjadi orang yang bermanfaat pada sekitarnya. Kedua, Keikhlasan untuk menindaklanjuti visi itu secara nyata. Bukan dilakukan oleh orang lain tetapi diri pribadi secara langsung. Ketiga, Persoalan kemasyarakatan disekitar baik sosial, kelembagaan, ekonomi ataupun ubudiah yang dilihat sebagai hal yang serius. Bukan bagian dari kehidupan kota yang lazim semata.


PERANTAU

Banyak hal telah dilakukan oleh para perantau di sekitar pemukimannya, dalam lingkungan usaha, dalam lingkungan kerja, dalam lingkungan kekerabatan, dan di kampung halaman. Banyak juga dilakukan dalam bentuk “charity”.

Apakah dalam periode nanti akan berlanjut? Insya 'Allah demikian. Namun mungkin dapat ditempuh metode, bentuk dan proses yang lebih tepat. Dalam konteks ini mari ita simak empat dimensi, Kekuatan, Kelemahan, Peluang, Ancaman (KEKEPAN)

Kekuatan, Wawasan lebih luas, pengalaman lebih panjang, hubungan/jaringan kerja & usaha, tingkat pendapatan diatas rata-rata, kepedulian pada sesama, asset komunikasi, ragam profesi yang bervariatif, pijakan keberagaman diatas rata-rata

Kelemahan, Perhatian dalam bentuk charity, komunikasi antar sesama renggang, belum ada wadah menyeluruh, terpisah-pisah antar ragam profesi, jumlah masyarakat dengan masalah sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang masih besar, sumber daya yang belum siap pakai.

Peluang, Adanbya kebutuhan rutin, iklim demokrasi dan ekonomi yang memungkinkan, kuantitas perantau besar, potensi profesi yang belum termanfaatkan, dukungan pihak lain, keberadaan kelembagaan perantau yang tersebar

Ancaman, Perbedaan visi, ketidaksiapan manajemen dan sumber daya, kesepakatan tamu.

ALTERNATIF

Dengan gambaran sementara diatas dapat dipetik bahwa para perantau masih memungkinkan untuk meningkatkan kiprah kepeduliannya di perantauan dan bagi kampung halaman. Agak sulit untuk mencari kegiatan strategis yang dapat mengantarkan berbagai jalan serentak seperti pengembangan sumber daya, pemberdayaan kelembagaan dan kegiatan ekonomis.

Mengantarkan dialog untuk menentukan pilihan terhadap berbagainkemungkinan yang tepat, antara lain:

Pertama, Merintis Group Perancant (Think Thank) sekitar 10-20 orang yang akan melakukan kegiatan pertemuan rutin dengan sasaran utama kesamaan visi, pilihan kegiatan, pengembangan konsep, penyusunan rencana dan penyiapa sumber daya.

Kedua, Masing-masing anggota dari 10 orang ini akan melakukan hal serupa di tiap wilayah dengan tujuan serupa. Sehingga jumlah anggota kelompok perancang ini semakin besar

Ketiga, Merintis kegiatan awal sebagai “Model” yang dapat mengakomodasi berbagai keperluan, baik sosial, keagamaan, ataupun ekonomi. Misalnya model BMT yang dapat mewadahi perwujudan kepedulian osial, keagamaan, dan ekonomi

Keempat, Desiminasi kajian model dan penyebarluasannya di rantau dan di kampung halaman.



MEREKA YANG BIJAK DAN IKHLAS

Akhirnya semua hal itu kembali kepada diri pribadi, apakah termasuk kelompok yang bijak dan ikhlas, atau tidak.

Berbuat baik itu seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya menjulang ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin tuhannya (Q.S 14/Ibrahim 24-25)

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa butir benih yang akan menumbuhkan tujuh butir, dan pada tiap-tiap butir (menumbuhkan) 100 biji. Allah akan melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Tuhan Maha Luas Kurnia-Nya lagi Maha Mengetahui (Q.S 2/Albaqarah, 261)

Kita sebagai manusia diciptakan Allah hanya berbakti kepada-Nya (Q.S 51/Ad dzariat, 56) dengan mengemban amanah-Nya, berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia (Q.S 3/Ali Imran, 112), karena khidupan manusia dijadikan-Nya berkelompok-kelompok (Q.S 49/Al Hujurat, 13)

Dalam melaksakan amanah-Nya berperan menjadi khalifah-Nya di muka bumi, yang menurunkan sifat-sifat keagungan-Nya kita dituntut untuk membawa kemakmuran, keadilan, rahmat bagi sekalian alam, manusia berkualitas dan berbahagia, rasa kebersamaan, kesetia kawanan, dan persaudaraan (Q.S 3/Ali Imran, 30-34; 27/An Naml, 60-66; 11/Hud, 61; 6/Al An'am,165; 21/Al Anbiya,107; 67/Al Mulk,15; 2/Al Baqarah 201; 36/Yaasin, 12,65).

Karena itu, “jangan membuang-buang waktu lagi, bersegeralah agar tidak merugi, teguhkanlah imanmu kembali, tingkatkan amal salehmu, saling mengajak, memperingatkan pada perjuangan meningkatkan kualitas kehidupan dengan segala keuletan (Q.S 103/Al Ashr, 1-3), antara lain dengan “nafkahkanlah sebagian rezeki yang telah ku titipkan padamu” (dalam banyak ayat, Q.S 2/Al Baqarah, 3; 8/Al Anfal,3; 16/An Nahl, 90), yang dengan itu “Allah akan mengaruniai derajad kehidupan yang sangat tinggi kualitasnya (disisi Tuhan mereka), kehidupan maghfirah, dan menambah-nambah rezeki yang mulia” (Q.S 8/Al Anfal, 4). Allah tidak pernah memungkiri janji-Nya (Q.S 3/Ali Imran, 194) Muchtar Bahar, disampaikan dalam acara silaturahmi Iqbal AMM Sumber Jaya di Kantor PT Muhammadiyah Menteng Raya, Jakarta Pusat, 18 Syawal 1417 H

PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR 43 TAHUN 2014






Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dapat dilihat di situs Provinsi Sumatera Barat dengan meng-klik link dibawah

Klik Disini

Kajian Terhadap Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya











Kajian Terhadap Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat ini dapat dilihat dengan meng-klik link dibawah:

 
Klik disini!

Rabu, 18 Februari 2015

Buku, Studi, Biografi, Sejarah,Kebijakan dan Tulisan

Buku

  1. Mambangkik Batang Tarandam, Minangkabau di Tapi Jurang, Editor H al Bazar Arif, H farhan Muin, H Muchtar Bahar dan H Taufik Bey, diterbitkan oleh YPMUI jakarta, 2013.
  2. Mustika Adat Alam Minangkabau, Penulis Dicki Zulkarnain St Mantari Bungsu
  3. Editor,H Albazar Arif St Suleman, H Farhan Muin Dt Bagindo dan H Muchtar bahar St Sari Endah, Diterbitkan oleh BMS Foundation dan YPMUI Jakarta, 2015
  4. Minangkabau yang Gelisah, diterbitkan oleh CV Lubuk Agung Bandung, 2004. Editor; Abdul Kadir Usman, Abraham Ilyas, Amir MS dan Amri Marzali.
  5. Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Himpunan Dokumen Peringatan Hari  Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, Komisi  Nasional Hak Asasi Manusia, 2006
  6. Tiga Menguak Tabir: Perempuan Minangkabau di Persimpangan Jalan,  Muchtar Naim, Penerbit Hasanah, Ciputat, 2006
  7. Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau dalam Yuriprudensi Mahkamah Agung,  H Suardi Mahyudin SH,  PT. Candi Cipta Pramuda, 2009
  8. Membangun Masa Depan Minangkabau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Penerbit:  Mahkamah Konstitusi republik Indonesia, Komisi Nasional Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang dan Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat,  2007.
  9. Elizabeth E. Graves, Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX (Penerjemah: Novi Andri, Leni Marlina, Nurasni; Editor ahli: Mestika Zed), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007
  10.  Alam Takambang Jadi Guru, PENULIS : A.A. NAVIS, Penerbit : Pustaka Grafiti, Jakarta, Cetakan : Kedua, 1986
  11. Manusia Minangkabau: Iduik Bajaso, Mati Bapusako, Alam Takambang Jadi Guru. Penulis: Dr. Ir. Nusyirwan, M.PH. (Dosen Fakultas Filsafat UGM).Penerbit: Gre Publishing Yogyakarta. Penerbit: Kanisius Yogyakarta. 
  12. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Judul Asli : Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Tradition in Indonesia. Penulis : Tsuyoshi Kato. Penerjemah : Gusti Asnan dan Akiko Iwata. Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta, 2006.
  13. Tanya Jawab Adat Minangkabau, Penulis : Amir MS, diterbitkan oleh Karya Dunia Pikir,Ikatan Keluarga Kubang dan Yayasan Aini, Jakarta, tahun 2005.
  14. Manggugat Minangkabau, Editor  Herwandi dan Zayardam Zubir, diterbitkan oleh Andalas University Press,  2006.
  15. Pewarisan Harato Pusako Tinggi jo Harato Pancarian, diterbitkan oleh PT. Mutiara Sumber Wydia, tahun 2008 ditulis oleh Amir M. S, Cetakan petama tahun 2003 dan cetakan kedua tahun 2008.
  16. Bahasa Minang Populer (Minang Taseba), Arsal Abra, Al Bazar Arif an Janyar Muin, Diterbitkan PT Rumpun Dian Persada, Depok, 2004.
  17. Hukum Keluarga, Penulis : Prof.DR. Yaswirman, Penerbit : Rajawali Pers Jakarta
  18. Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Manuskrip Lama, Ding Choo Ming; Henri Chambert-Loir; Titik Pudjiastuti (eds.),  Simposium Antarbangsa Pernaskahan Nusantara di Bima, 2007. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu(ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia,
  19. Udang-Undang Minangkabau Dalam Perspektif Ulama Sufi, penulis  Pad Zuriati,  Penerbit Andalas University Press, 2007 dan  PT Pustaka Panjimas, Tahun : Cetakan II, 1985
  20. Panduan pengelolaan Suku dan Nagari di Minangkabau, ditulis oleh Amir MS Diterbitkan oleh Ciktra Harta Prima,  Jakarta tahun 2012, .
  21. Polemik Adat Minangkabau Di Internet,  Azmi Dt Bagindo, Penyunting: Dr.Edwar Djamaris St Palimo, Penerbit:  Yayasan Citra Pendidikan Indonesia dan Lembaga Adat Kebudayaan Minangkabau (LAKM), Jakarta, 2008


Studi

  1. Kajian terhadap Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, Nurul Firmansyah dan Yance Arizona, (Perkumpulan HuMa dan Perkumpulan Qbar)
  2. Filantropi Kaum Perantau, Studi Kedermawanan sosial organisasi perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kabupaten Solok, Sumatera Barat, ditulis oleh Irdam Huri. S.Sos, diterbitkan oleh Piramedia, Jakarta.


Sejarah

  1. Tambo Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Penulis: Ir. Edison M.S, SH, M.Kn Nasrun Dt. Marajo Sungut, diterbitkan oleh ”Kristal Multimedia”, Jakarta.
  2. Perang Padri Di Sumatera Barat (1803-1838),  Muhammad Radjab, PN. Balai Pustaka, 1964
  3. Padang Riwayatmu Dulu, Rusli Amran, Penerbit Sinar harapan, Jakarta
  4. "Sumatera Barat hingga Plakat Panjang" dengan  Rusli Amran,  diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.  


Biografi

  1. Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah HAMKA Pengarang Badruzzaman Busyairi Penerbit YPI Al-Azhar Halaman 265 Halaman 
  2. Gelora Lehidupan, 50 tahun Pernikahan Yajuar Muin-Rosmanidar, Biografi Ir Januar Muin, editor Dr Mafri Ahmad MA dan Abrar Yusra,  diterbitkan oleh Mazhab Ciputat, 2012.
  3. Jernih Melihat Cermat mencatat, antologi karya jurnalistik  H. Marthias Dusky Pandoe, diterbitkan oleh Kompas. Editor  wartawan senior Julius Pour,2010.


Kebijakan

  1. UU No. 6 Tahun 2014, Tentang Desa
  2. Penjelasan Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014


Pemberdayaan Masyarakat

  
Artikel - Tulisan Lepas
  1. Belajar dari Keledai (H.Muchtar Bahar)
  2. Kevin Fogg, Perang dan Grass Root, (H.Zamris Habib)
  3. Kunci Bahagia (H Muchtar Bahar)
  4.  Hubungan ranah Jo Rantau (H Amir MS)
  5. Merintis Aksi Social Coorporate Responsibility (CSR), H Muchtar Bahar
  6. Perantau dan Kepedulian pada Sesama (H.Muchtar Bahar)

  
Novel


  1. Dari Surau ke Gereja, novel pertama dari tiga novel Trilogi Murtad di Ranah Minang, ditulis oleh Helmidjas Hendra, Pustaka Aweha, jakarta 2010.


Mutiara Adat Alam Minangkabau













Mustika Adat Alam Minangkabau
Penulis Dicki Zulkarnain St Mantari Bungsu
Editor,H Albazar Arif St Suleman, H Farhan Muin Dt Bagindo dan H Muchtar bahar St Sari Endah

Diterbitkan oleh BMS 
Foundation dan YPMUI Jakarta, 2015
xxiv/345 halaman


Saat ini, orientasi nilai budaya orang Minangkabau semakin tidak jelas. Hal ini antara lain tercermin dari tidak jelasnya posisi gender pada kekerabatan matrineal serta tidak adanya pranata budaya yang mencakup seluruh alam Minangkabau yang berfungsi secara maksimal.

Sementara itu, nama besar orang Minang, yang selama ini selalu mewarnai pentas nasional,  kini hanya tinggal kenangan. Hal tersebut disebabkan oleh karena terjadi degradasi kepemimpinan orang Minang, mulai dari tingkat lokal hingga nasional. Hal tersebut sangat disayangkan, karena tidak ada upaya  generasi muda Sumatera Barat untuk membangun kebesaran seperti masa lalu, yang terjadi malah sebaliknya yakni, membangun kesadaran sejarah palsu.

Kondisi tersebut di atas di perparah lagi oleh kebudayaan lokal, yang tidak lagi mampu berperan sebagai benteng moral di tengah masyarakat, makin derasnya pengaruh negatif globalisasi, yang nyata-nyata merupakan ancaman kian memudarnya semangat tradisi lokal.

Kekhawatiran itu juga muncul akibat perkembangan informasi dan teknologi serta dampak globalisasi yang bila tidak diluruskan maka diyakini generasi mendatang tidak lagi mengenal sendi-sendi budaya Minangkabau.Tradisi-tradisi seni budaya yang berbudi luhur setidaknya diharapkan dapat mengangkat harkat dan martabat, sehingga perlu dipertahankan dan dikembangkan, karena seni ini sekaligus sebagai benteng moral untuk menghadapi berbagai pengaruh negatif dari globalisasi.

Panakiak pisau sirawuik
Batungkek batang lintabuang
Salodang ambiak ka niru
Text Box: 1!
Alam ta kambang jadikan guru
Sa titiak jadikan lawuik
Sa kappa jadikan gunuang

Filosofis yang terkandung dalam bait-bait di atas, apabila dikaji secara seksama sangatlah dalam maknanya. Dan makna tersebut juga yang mendorong penerbitan buku yang berjudul "Mustika Adat Alam Minangkabau" ini. Karena setidaknya kehadiran buku ini diharapkan akan dapat menjawab sebagian persoalan di atas.

Semua itu juga tidak lepas dari kegundahan serta kekhawatiran akan kehilangan, jika adat tergilas serta syarak yang tidak kunjung bangkit lagi. Maka disinilah titik persoalan dimulai, karena Minangkabau akan bertukar tuan, dimana adat hanya akan dijadikan barang pajangan, terkunci dalam musium. Dari itu, jadikan masa lalu sebagai pelajaran yang bisa dipetik untuk kemajuan masa sekarang dan akan datang.

Dalam rangka itulah buku ini diterbitkan yang  bermuara kepada tujuan:

·         Menggali kembali nilai-nilai budaya Minangkabau untuk menyelamatkan peninggalan budaya dari nenek moyang kita.
·         Memberikan kontribusi pemikiran yang bersumber dari Adat Alam Minangkabau. Dari situ diharapkan buku ini menjadi salah satu acuan bagi generasi penerus kedepan.
·         Sosialisasi budaya kepada masyarakat dalam menyikapi setiap perubahan budaya ditengah hegemoni budaya Barat.
·         Mendokumentasikan gagasan-gagasan yang konstruktif yang berwawasan jauh kedepan untuk melestarikan budaya yang menjadi ciri khas dari suku bangsa yang ada di negeri ini.

Mandaki bukik ka panasan
Manurun ngarai si anok
Ta tumbuak di parantian
Di tapi tumbuah rimbo lalang

Di susun gurindam di ambahkan
Antah buruak antah mo elok
Hutang di ambo manyampaikan
Tujuan baiak  nan  kito hadang

Cakupan isi buku ini terdiri dari delapan bahagian yakni; Bagian Pertamo “Nan Tasirek”, Bagian Kaduo “Urang Sumando”, Bagian Ketigo “Nasihat dan Asal Usul”, Bagian Kaampek “Tujuah Kalarasan”, Bagian Kalimo “Tantang Pangulu”, Bagian Kaanam “Mulo Pasambahan dan Batimbang Tando”, Bagian Katujuah “Pasambahan Baralek”,  dan  bahagian terakhir yakni Bagian Salapan  adalah “Sejarah Minangkabau”.

Tentu saja dalam buku ini ditemukan sejumlah kekurangan dan kejanggalan. Untuk itu kami harapkan saran dan masukkan dari seluruh masyarakat Minangkabau dan masyarakat  pembaca.




Mambangkik Batang tarandam, Minangkabau di Tapi Jurang










Mambangkik Batang tarandam, Minangkabau di Tapi Jurang, editor H.Albazar Arif, H. Farhan Muin, H.Muchtar Bahar dan H. Taufik Bey,

Diterbitkan oleh Yayasan Pembangunan Masyarakat Utama Indonesia (YPMUI), tahun 2013 yang menjadi pelaksana dari paguyuban Ikatan Alumni Keluarga Besar Angkatan Muda Muhammadiyah (IKBAL AMM SUMBAR JAYA), tahun 2013.



Sepuluh tahun yang lalu, yaitu tahun 2003, berlangsung seminar di gedung Perpustakaan Nasional Salemba dengan tema ”Minangkabau Di Tapi Jurang”. Sepuluh tahun kemudian persoalan di ranah Minangkabau, kembali di kemukakan, karena semakin rumit dan komplek. Selain makalah seminar tersebut, dilengkapi dengan sejumlah tulisan dari perantau sesuai dengan tema buku ini.

Tulisan dalam buku ini dibagi dalam lima bagian Pertama, ”Agama”  dengan penulis dan topik:
1.      Ir. H .Taufik Bey St.Parmato:  Mambangkik Batang Tarandam
2.      Drs. H. Albazar M Arif St Sulaiman : Hakikat Kehidupan Manusia di muka bumi
3.      Ir. H. Basri Mangun: Membudayakan Zakat
4.      Dr. H. Suhairy Ilyas, LC,MA : Busana Muslimah
5.      Anonim: Bocah Misterius

Penulis dan topik dalam bahagian Kedua adalah tentang, “Adat” Minangkabau:

1.      Dr. H.Saafroeddin Bahar: Minangkabau di Tepi Jurang ?
2.      Prof.Dr.H. Mochtar Naim : Dengan ABS-SBK Kembali Ke Jati Diri
3.      Drs.H. Farhan Muin Dt Bagindo, Msi: Pokok-Pokok Ajaran Minangkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Beserta Penjelasannya dan Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Minangkabau.
4.      Drs.H.Firdaus Efendi MM : Memelihara Kekuatan Masyarakat dan Adat Minangkabau
5.      Drs. H.Albazar Arif St Sulaiman; Mutiara yang Hilang di Ranah Minang

Dalam bahagian ketiga tentang, Pembangunan Daerah”, dengan tujuh penulis dengan topik yang relevan;

1.    Dr. H. Taufik Abdullah : Tidak Generasi Kerdil
2.    Ir. H. Januar Muin Gaga Nan Putiah: Pembangkit Percaya Diri
3.  Yulianto Syahyu, SH.MH; Aspek Hukum KDRT Dalam Masyarakat minangkabau: Sebagai Upaya Perlindungan perempuan dan anak”
4.    H. Muchtar Bahar St Sari Endah: Kepedulian Nan Bijak; Bantuan  Mendidik
5.    Muhammad Hadlim, B.Eng,MM,MBA Bandaharo Kayo: Pengembangan IT  di Ranah Minang, Belajar Dari Jiran
6.    Drs. H. M. Yusuf Sisus, M.Si : Teluk Bayur Yang Permai
7.    Tim Relawan ”Children   Crisis Center; Akibat   Gempa Di Sumatera Barat, Inisiatif Awal”