Rabu, 11 Maret 2015

APA YANG KURANG DENGAN KITA


Akhir tahun 2007 yang lalu kami menghadiri wisuda putri kami yang telah menyelesaikan program magister di Universitas Padjajaran Dipati Ukur Bandung. Dalam perjalanan menuju kampus, kami membaca spanduk yang berisi permintaan maaf kepada pengguna jalan raya yang terganggu karena ada kegiatan wisuda yang berlangsung selama 3 hari, yaitu 28, 29 dan 30 November 2007. Pada mulanya penulis bertanya dalam hati kenapa wisuda harus 3 hari?.  Setelah mengikuti prosesi wisuda tersebut, penulis  baru paham kalau Universitas Pajajaran pada gelombang 1 tahun 2007-2008 mewisuda lebih dari 2300  sarjana yang terdiri dari S1, S2, S3, D3 dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga dilaksanakan dalam 6 sesi dan setiap hari 2 sesi.
Namun ketika mengikuti acara wisuda, timbul lagi pertanyaan dibenak penulis, kalau Universitas Pajajaran dalam satu gelombang mewisuda sebanya 2300 sarjana, berapa sarjana yang dihasilkan UNPAD dalam setahun? Berapa sarjana yang dihasilkan PTN lainnya yang jumlahnya lebih 40 buah, berapa sarjana yang dihasilkan PTS yang jumlahnya lebih dari 400 buah? Berapa banyak Indonesia menghasilkan sarjana dalam setahun, berapa dalam 10 tahun, luar biasa. Para sarjana dan pakar ini terdiri dari berbagai disiplin ilmu, Ilmu sosial, ilmu politik, hukum, kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, peternakan, farmasi, psikologi, tidak ketinggalan sastra dengan berbagai jurusan.
Pertanyaan berikutnya bagaimana dengan Ekonomi masyarakat, pertanian kita, kesehatan publik, kesejahteraan rakyat? Dalam bidang pertanian misalnya, bila kita mampir ke super market atau toko buah, kita menemukan berbagai macam buah import, duren Bangkok, pepaya Bangkok, jambu Bangkok, pisang USA, anggur New Zealand, apel Amerika, jeruk Taiwan, bahkan pedagang buah keliling yang hanya menggunakan gerobak dorong pun menjajakan buah import, lalu kemana apel Malang, jeruk Pontianak, pisang Sukabumi?  Kita tahu bahwa hampir semua universitas negeri Indonesia ada fakultas pertanian, bahkan kita punya institut pertanian yang ternama, disisi lain kita punya lahan pertanian yang luas dan subur, sehingga negara kita dijuluki dengan negara agraris. Dalam bidang ekonomi dan perdagangan petani di desa mengeluh harga jual di pasar hasil pertanian mereka begitu murah, bahkan mereka enggan memanen hasil pertanian mereka karena harga jual terlalu rendah, mereka lebih suka membiarkan hasil tanaman mereka busuk di kebun, sementara konsumen mengeluh karena harga sayur terlalu mahal, lalu dimana letak pembengkakan harga.
Contoh lain harga beras import yang melewati berbagai tangan dari tingkat petani di luar negri sampai ke pedagang, sampai ke eksportir, importer, pedagang, dan konsumen dalam negri lebih murah dari beras lokal yang hanya dari petani, pedagang dan konsumen. Dalam bidang peternakan, sampai kapan kita harus mengimport ayam dari Bangkok, daging dari Negara asing lainnya. Bila kita lihat dari jumlah pakar dan sarjana, tentu Indonesia tidak kekurangan, meskipun tidak dapat dikatakan lebih. Lalu apa yang kurang pada kita? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang (H. Albazar M Arif) (Telah dimuat dalam media Buana Suara Edisi 8 Februari 2009  dan Buku Menjadi Hamba yang Peduli, H.Muchtar Bahar dan H Albazar M Arif, YPMUI 2014, Hal 55)





BEBAN PSIKOLOGIS GURU


Ketika penulis menyaksikan upacara hari pendidikan nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei 2012 melalui layar televisi, penulis begitu kagum dan bangga, betapa besarnya perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap dunia pendidikan kita. Akan tetapi, dibalik itu semua, penulis merasa sedih terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan di tanah air tercinta. Dan yang lebih memprihatinkan ialah,Betapa beratnya beban psikologis pak guru, ibu guru, serta para pendidik di tanah air”. Pembaca mungkin bertanya kenapa para pendidik kita memikul beban mental yang begitu berat? Jawabnya sederhana, yaitu tidak sesuai antara teori dengan kenyataan. Amat dalam maknanya, amat vital peranannya dan amat fatal bila mengabaikannya.
Para pendidik di sekolah atau di lembaga pendidikan lainnya baik formal atau non formal dengan segala daya dan upaya mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai luhur yang mulia dan terpuji kepada anak didik mereka seperti kasih sayang, kesabaran, tata krama pergaulan, kejujuran, pakaian yang sopan. Tentunya ini mengacu pada tujuan pendidikan nasional kita yaitu,Membentuk manusia susila yang cakap, warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan Negara”.
Namun ironisnya nilai-nilai luhur yang diberikan oleh guru di sekolah amat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sehingga apa yang diberikan oleh para pendidik di sekolah hilang tanpa bekas. Beberapa contoh: disekolah, guru mengajarkan muridnya tata krama dan sopan santun dalam berbicara yaitu bahasa yang sopan, bicara lembut, tidak kasar. Kenyataan dalam masyarakat orang seenaknya bicara kasar, kotor, dan jorok seperti “sialan lo, tai lo, anjing lo, babi lo, gue tonjok lo”. Contoh lain disekolah guru mengajarkan kepada murid sifat sabar, menahan diri, kenyataan dalam masyarakat semua kegiatan berakhir ricuh, konser musik ricuh, sepakbola ricuh, pembagian sembako ricuh, penertiban pedagang kaki lima ricuh bahkan rapat-rapat di lembaga tinggi Negara berakhir ricuh, perkelahian antar  kelompok, bahkan antar penjaga keamanan Negara pun terjadi bentrok yang menyebabkan jatuhnya  korban jiwa.
Contoh lain di sekolah pendidik mengajar anak didik dengan sifat jujur, kenyataan dalam masyarakat sifat jujur ini sulit ditemukan, ini terbukti dengan banyaknya kasus penipuan, kebohongan, manipulasi, korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini diperkuat dengan banyaknya tokoh-tokoh masyarakat, pemimpin-pemimpin, pejabat Negara anggota dewan perwakilan yang terhormat, jaksa dan hakim yang mulia, seperti mentri, gubernur, bupati, walikota yang terpidana, terdakwa, tersangka, bahkan ada yang buron (DPO) karena mereka terlibat kasus korupsi dan ini pertanda hilangnya nilai kejujuran di kalangan pemimpin. Contoh lain di sekolah, guru mengajarkan anak didiknya untuk berpakaian sopan dan tidak membuka aurat, namun pada kenyataan dalam masyarakat banyak ditemukan tontonan yang berbau pornografi, porno aksi baik melalui televisi, internet, juga media massa lainnya.
Melengkapi contoh-contoh diatas penulis pernah jadi dosen mata kuliah kewarganegaraan di perguruan tinggi negeri dan swasta di Jakarta. Penulis menyampaikan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan individu dan kelompok. Selesai memberi kuliah, ketika akan pulang, seorang mahasiswa berbisik kepada penulis. “Pak apa yang bapak katakan tadi sekarang adanya di atas kertas pak? Ditengah masyarakat, mana ada orang yang mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan. Orang sekarang sebelum berbuat, mereka akan berfikir dan bertanya mereka dapat apa, dan mereka kebagian berapa”. Nah inilah realita yang terjadi di tengah masyarakat dan ini pula lah yang menjadi beban bagi para guru, mereka harus menghadapi kenyataan pahit dan bertolak belakang dengan apa yang mereka sampaikan didepan anak didik mereka, semoga para guru dan para pendidik tidak berputus asa menghadapi kenyataan ini dan senantiasa teguh dalam menunaikan tugas-tugas mulia yang mereka emban. Amin. (H. Albazar M Arif, dari Manjadi Hamba Yang Peduli, YPMUI 2014, halaman 59












Rabu, 04 Maret 2015














Undang-Undang Adat Minangkabau
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktora Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
1992-1993
Halaman viii/106 halaman


Buku ini salah satu dari sejumlah buku hasil Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan telah mengkaji dan menganalisis naskah-naskah lama di antaranya naskah kuno Sumatera Barat yang berjudul Undang-Undang Adat Minangkabau isinya tentang asal-usul masyarakat dan tokoh-tokoh pemimpin Minangkabau serta ajaran tentang filsafat adat Minangkabau; silsilah keturunan, dam kaitan kekerabatan kaum otokrasi Pagaruyung yang sering dianggap sebagai “raga” Minangkabau, dan mengenal undang-undang adat Minangkabau.

Nilai- nilai yang terkandung di dalam naskah ini adalah nilai adat dan budaya serta nilai agama yang dapat menunjang pembangunan, baik fisik maupun spirituil.

Buku ini salah satu koleksi perpustakaan kawan kito H Al Bazar Arif
















Bako
Penulis, Darman Moenir
Penerbit, Balai Pustaka
Cetakan 1-1983, Cetakan 2-1994, dan Cetakan 3-2000
102 halaman

Roman-roman terbitan Balai Pustaka sebelum perang dikenal orang sebagai banyak memasalahkan perlawanan terhadap adat istiadat yang mengungkung. Ini tampak dalam roman-roman Siti Nurbaya dan Salah Asuhan.

Darman Moenir, seorang penulis muda kita, dalam roman “Bako” ini juga menulis tentang pemberontakan terhadap adat dengan segi-segi permasalahan yang lain. Di samping itucerita roman ini terasa ditulis dan bercerita pada kita dengan intens dan menarik. Lagipula roman ini salah satu pemenang utama sayembara penulisan roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1980.

Kilasan pemberontakan terhadap adat terlihat jelas dalam dialog, ayah, umi dan Man yang dapat dibuka  pada halaman 29, “Dan paling tidak direlakan masyarakat kampung adalah perkawinan ayahku, agaknya. Pada titik-terakhir, mereka menginginkan agar ayahku kawin lagi dengan seorang perempuan yang berasal dari kampong mereka sendiri.”
“Man, ketika kau berusia lima tahun, aku tidak dapat menghindar dari anjuran untuk kawin lagi. Umi dan Bak Tuokau pun berkeras-keras menyuruhku. Alasan mereka adalah untuk mencoreng arang yang melekat di kening.”
“Maksud Ayah?”
“Ya, karena aku sebagai salah seorang anak-kampung mereka, tapi sudah melangkahi cara-cara perkawinan yang ada. Hal ini baru bias ditebus jikalau aku sudah menikah dengan salah perempuan di sini”

Bagi peminat novel ini dapat menghubngi Balai Pustaka Jakarta dan buku ini salah satu dari koleksi perpustakaan pribadi H Al Bazar Arif.



Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang













Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang
Penulis, Editor, Ed Zoelverdi, Junisaf Anwar, Nazif Basir
15/328halaman
Penerbit, BK3AM (Badan Koordinasi Kemasyarakatan/Kebudayaan Alam Minangkabau) DKI Jakarta
Edisi I-1995


Buku ini  dibuka dek Ketua Umum BK3AM, H.Is.Anwar Dt dengan  Rajo Perak  denga  kutipan ayat "Allah berfirman: Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan; dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berpuak-puak, supaya di antara kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. QS Al-Hujurah, 13.".

Buku ini menceritakan profil dari orang Minang sebanyak 131 orang  dengan   berbagai latar belakang, asal usua dan profesi, dengan kekhususan perjalanan hidup yang patut untuk dikaji dan diambil manfaatnya.

Tujuan lain dengan penerbitan buku ini adalah dalam semangat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa inilah, kami sajikan buku Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang ini. Kami menyadari, masih banyak yang kurang dalam buku edisi pertama ini. Namun, menurut hemat kami, lebih baik bertahap menyempurnakan yang ada ketimbang mencari kesempurnaan dalam angan-angan.


Dari segala pemahaman yang dipaparkan tadi, dengan segala kerendahan hati, kami persembahkan buku kecil ini ke tengah siding pembaca. 

Buku ini tidak tersedia di toko buku, sekarang ada di perpustakaan pribadi H Al Bazar Arif yang tinggal di Kelapa Gading.

Pedoman Pengalaman Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru














Pedoman Pengalaman
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru
Halaman, x/219
Gebu Minang Pusat, 2011

Menghadapi berbagai tantangan dan realitas yang tidak kondusif itu, maka tidak ada pilihan, kecuali perlunya sebuah strategi kebudayaan dan politik. Dalam bacaan saya, Naskah Seminar Kebudayaan Minangkabau 2010 telah memberikan kerangka yang relatif komprehensif menyangkut strategi kebudayaan dan politik tersebut. Bagaimanapun kerangka itu memerlukan political will kepemimpinan birokrasi kepemerintahan; dan juga kesediaan kepemimpinan agama dan adat untuk membangun kesepakatan, baik pada tingkat konsep, kerangka, dan praksis konsolidasi kultural suku bangsa Minangkabau tersebut. Tanpa itu, keinginan untuk perubahan kearah lebih baik, bisa berarti bahwa ‘kaum’ Minangkabau itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya.

Professor Azyuamardi Azra memberikan catatan khusus tentang buku ini, “Dalam kehidupan sosial budaya, perubahan-perubahan yang dimunculkan pembangunan (modernisasi) Orde Baru, menimbulkan urbanisasi yang berlangsung dan meningkat secara cepat di Sumatera Barat – seperti juga terjadi di banyak wilayah di Indonesia lainnya. Semakin banyak anak-anak muda Minang yang masih bujangan dan yang sudah berumahtangga—baik laki-laki maupun perempuan—yang merantau ke wilayah-wilayah urban, baik di lingkungan Sumatera Barat sendiri maupun ke wilayah-wilayah lain. Nagari, surau dan lubuk tapian pun ditinggalkan; banyak persawahan dan lahan-lahan perkebunan dibiarkan begitu saja menyemak membelukar.

Buku dengan lebih 200 halaman ini patuit kito kaji un tuak kito terapkan dalam kehidupan sahar-hari. Bilamana berminat dapat menghubungi Gebu Minag Pusat Jl. Kayumanis I No. 24, Jakarta Timur, 13130.(Ilhamsyah PR)




Kamis, 26 Februari 2015

HUBUNGAN RANAH DAN RANTAU MINANGKABAU Potensi Bom Waktu Masyarakat Adat Minangkabau

1.   Luhak dan Rantau

Minangkabau, lazim disebut dengan Alam atau Ranah Minangkabau terdiri dari 2 bagian yang tak terpisahkan yaitu Luhak nan Tigo dan Rantau nan Tigo.

Luhak nan Tigo disebut dengan Daerah asli Minangkabu adalah Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limopuluh Koto.

Rantau nan Tigo, Rantau Pesisir Padang Pariaman, Rantau Timur sepanjang aliran sungai Kampar Kiri Kampar Kanan, Indra Giri dan Batanghari yang bermuara di Selat Malaka dan menyeberang sampai ke Sememnanjung Malaya (Malaysia sekarang). Di daerah lain dimana terdapat perantau Minang disebut dengan Rantau Batuah.

2.   Hubungan Ranah dan Rantau

Penolakan gagasan kongres Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang oleh 25 kelompok organisasi dari Ranah mencerminkan tidak serasinya hubungan Ranah dan Rantau pada tingkat elite Minangkabau.

Keadaan ini menarik bila dikaji perkembangannya, dibandingkan semangat rantau sejak awal.

Pada taraf awal orang Minangkabau meninggalkan kampung halamannya secara sukarela. Dilepas sanak keluarganya dengan perasaan haru. Dibekali dengan doa dan ajaran adat merantau yang mengena, Diharapkan kembali membawa hasil dari rantau. Hubungan perantau dengan karib kerabat yang ditinggal masih sangat akrab dan menyatu. Secara fisik mereka memang berpisah, secara rohaniyah mereka tetap menyatu.

Pepatah mengajarkan “jauh dimato dakek dihati, bapisah bukannyo bacarai”.

Demikianlah gambaran hubungan perantau dengan dunsanak mereka diranah minang tahap awal. Masih mesra.

Alam senantiasa berubah. Pola hubungan Ranah dan Rantau pun juga berubah. Kalau dulu pola hidup merantau sesuai gurindam sbb:

            Karatau madang diulu
            Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Diruma baguno balun
           
Satinggi tinggi tabang bangau
Pulangnyo ka kubangan juo
Sejauah jauah rantau
Pulangnyo ka kampuang juo

            Sesuai gurindam adat diatas maka tujuan orang Minang merantau ada dua yaitu:
·         Supaya menjadi orang yang berguna. Berdaya guna.
·         Pulang membawa hasil dari rantau. Berguna bagi ranah.

Pada taraf awal, perantau Minang secara fisik selalu pulang kampung setidaknya sekali setahun menjelang Lebaran. Bahkan, sering penghasilan memeras keringat setahun habis untuk bekal pulang. Namun, pulang kampung tetap dipaksakan juga demi melepaskan rindu kampuang halaman. Membawa oleh-oleh sekedarnya untuk dunsanak di kampung. Begitulah pola hidup perantau taraf awal. Namun, sedikit demi sedikit pola hidup rantau ini berubah.

Mereka yang berhasil menjadi sibuk mengurus keberhasilannya dirantau. Mengurus tugas dan jabatannya, mengurus dagangannya, mengurus anak-bininya dirantau, dan rumah tangganya. Akhirnya mereka tidak punya waktu lagi untuk pulang kampung. Organisasi kekerabatan sering mendorong perantau tipe ini untuk “Pulang Basamo” yang bertujuan untuk tetap mengingatkan perantau Minang akan kampung halamannya. Menunjukan keberhasilannya dirantau dengan menggerakan bantuan-bantuan pembangunan di nagari masing-masing, serta mendorong pariwisata bagi anak-anaknya yang lahir dirantau. Mereka belum pernah melihat kampuang halaman orangtuanya. Tujuan semuanya adalah pulang membawa hasil dari rantau yang berguna bagi Ranah Minang seluruhnya.

Bagi perantau yang kurang berhasil. Pulang kampung bagi mereka mejadi beban mental dan financial. Mereka takut diejek dan dicemooh yang sudah menjadi kebiasaan buruk orang awak. Pergi keromutan mencarikan “punggung nan indak basaok”, pulang kampung tetap menggadai sawah amai. Malu pulang kampuang dan berat karena biaya yang memang susah didapat. Mereka melahirkan papatah baru berbunyi sbb;

Dari Maek ka Koto Gadang
Bakelok jalan ka Pasa Ibuah
Kok bansaek ka dibawo pulang
Eloklah rantau di Pajauah

Keinginan hati hendak pulang sama besarnya dengan mereka yang berhasil, apa daya tangan tak sampai.

Fakta sejarah membuktikan. Satu demi satu perantau Minangkabau, yang sukses maupun yang gagal memulai pola hidup sebagai perantau menetap atau perantau cino. Kampung halaman yang sudah merupakan masa lampau. Tinggal kenangan.
Sebaliknya bagi masyarakat adat di Alam minangkabau di Tigo Luhak, maupun dirantau dakek Padang, Pariaman, Pesisir dan Rantau Timur, mereka perantau pemukim/ perantau cino ini sudah dianggap dan diperlakukan seperti orang asing pula, orang datang yang sudah hampir tak dikenal. Para perantau sudah dianggap “tamu” di Nagarinya sendiri.

Pepatah Minang yang berbunyi “Nan tuo dihormati, samo gadang ajak bakawan. Nan ketek dilindungi” tidak berlaku bagi perantau cino.
Dari perantau cino mereka hanya butuh bantuan “pitih”. Bantuan dalam bentuk nasihat, pemikiran, saran-saran, konsep jarang mereka terima. Prinsip mereka sederhana “Kami lebih tahu urusan kami dari anda para perantau” yang kami butuhkan hanya pitih, sekali lagi pitih. Dengan pitih bereslah segalanya (AMS.TJ-2.103).

Demikianlah pola hubungan masyaramat adat Minangkabau dengan para perantau diawal abad XXI ini. Hubungan yang hanya bersifat materialistis, yakni hubungan “pitih”.

Akibatnya hubungan Ranah dengan Rantau hanya sebatas hubungan materi belaka. Kendatipun konkritasi hubungan itu mungkin sekali dalam bentuk gedung sekolah, tempat ibadah, sarana olahraga, dan balai kesehatan yang akhirnya bermanfaat bagi kebutuhan immaterial. Tapi intinya hanya sebatas “pitih”.

Tidak jelas nampak adanya transformasi Ilmu Pengetahuan dan Hubungan emosional antara perantau dengan dunsanak mereka di Nagari. Hasilnya kemajuan pemikiran dan pengalaman yang diperoleh dirantau tidak banyak bermanfaat bagi kemajuan di Ranah Minang sendiri. Sebaliknya, banyak perantau yang sudah tidak peduli lagi dengan kondisi dan situasi di Ranah Minang. Mereka dengan mudah melanggar ketentuan adat. Melakukan perkawinan sesuku dengan hanya sekedar membayar “Uang lompat pagar”, menjual Tanah Pusaka Tinggi mereka dengan aneka cara dan dalih, mereka mampu melakukan itu karena memang punya uang. Sebaliknya warga di kampung bisa pula menerima karena mereka butuh uang. Astaghfirullahiladzim.

Kalau diteliti lebih dalam, pola hidup orang Minang baik di rantau maupun di ranah sudah cenderung pada pola hidup individualistis sesuai pemeo “Hang marahang, heng mereheng. Ang bakjanyo ang, den bakjanyo den”. Pola pikir hidup komunal sudah sangat menipis. Tak perlu lagi terlalu dipikirkan hidup dan kehidupan kemenakan di hari esok, yang penting hidup hari ini dengan anak bini sendiri (AMS.TJ-2.104).

Masalah kita, kapan pola hidup sesat semacam ini akan kita hentikan, kalau memang kita tidak ingin masyarakat adat minangkabau ini tenggelam ditelan sejarah?

3.   Fakta Objektif Alam Minangkabau

·         Pendukung adat budaya Minangkabau di awal abad XXI ditaksir mencapai 12 juta orang baik di Ranah maupun di Rantau. Mereka yang bermukim di Ranah Minang kurang lebih 4 juta orang. Sisanya berada di Rantau seluruh Indonesia sekitar 8 juta orang. Pendeknya 2/3 bagian pendukung budaya Minang berada di Rantau, hanya 1/3 yang bermukim di Ranah Sumatera Barat.

Dr. Mochtar Naim (1980) dalam disertasinya yang dibukukan berjudul Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau menyebutkan, alasan orang Minangkabau merantau antara lain lebih dari separuh orang Minang merantau karena dorongan ekonomi, seperempatnya mencari ilmu, dan sisanya karena kondisi social lainnya.

Dengan asumsi sebagian besar perantau mencapai tujuannya, hal ini berarti kehidupan ekonomi dan ilmu pengetahuan orang rantau bertambah baik.

Bila rezeki yang berlebih dan ilmu pengetahuan yang bertambah ini disumbangkan sebagian ke kampung halaman masing-masing, pastilah akan menambah kemakmuran dan peningkatan pengetahuan masyarakat di Sumatera Barat dimana orang Minang sebagian bermukim. Masalahnya adalah apakah transformasi ekonomi dan pengetahuan ini berjalan tanpa kendala dari Rantau ke Alam Minangkabau? (AMS.TJ-2.105).

·         Indeks prestasi pendidikan nasional menunjukkan Sumatera Barat menempati posisi ke-29 dari 30 propinsi yang ada (Tahun 2004) di N.K.R.I ini.
Dengan Indeks prestasi yang rendah ini dapat diartikan secara prorate orang-orang Minang yang berada di Rantau secara teoritis punya indeks prestasi lebih tinggi dari mereka yang menetap di kampung halaman.

Kalau transformasi Ilmu Pengetahuan orang Rantau ke Ranah Minang berjalan lancar, mestinya indeks prestasi pendidikan di Sumatera Barat minimal sama dengan Propinsi tingkat menengah lainnya, bukannya hanya selangkah dari yang paling bawah. Memalukan.

Pengetahuan dan pengalaman hidup orang Rantau tidak mengalir dan tidak meresap kedalam pikiran dan perasaan  dunsanaknya di kampung halaman, hanya “pitih” yang berhasil mengalir kedalam kantong para dunsanaknya di Ranah.
·         Tahun 2000 sebanyak 38.403 dari 551.394 balita di Sumatera Barat menderita busung lapar. Busung lapar memang masih terdapat dimana-mana, namun secara presentasi Sumatera Barat adalah yang tertinggi di Indonesia. Kurang makan, sangat memalukan.

Anak balita adalah generasi masa depan kita. Mungkinkah kita dalam masa 20-25 tahun mendatang mengharapkan lahirnya generasi cemerlang (Superstar) dari balita busung lapar dilihat dari sudut kesehatan, kecerdasan dan pertumbuhan generasi. Bukankah kemungkinannya adalah kita akan menemui generasi idiot?.

Pepatah mengatakan “gabak diulu tando ka hujan, cewang dilangik tando ka paneh”. Generasi apa yang akan lahir dari balita busung lapar? Marilah kita bersama-sama merenungkan ini!

4.   Tanah Tertinggal bukan Daerah Tertinggal

Dua pertiga orang Minang hidup di Rantau. Mula-mula hanya merantau semusim paling lama setahun, kemudian pulang kampung. Lama-lama menjadi perantau pemukim tetap atau perantau cino.

Fakta menunjukkan sudah banyak di tiap Nagari, seluruh anggota sejurai, atau bahkan saparuik sudah tinggal di Rantau sebagai penetap. Akibatnya, sudah tidak ada lagi yang menghuni rumah Gadang dan rumah-rumah keluarga batih.

Sudah banyak dari kelompok sajurai dan saparuik yang meninggalkan kampung halamannya, sawah-ladang, Tanah Ulayatnya dan seluruh Harta Pusaka Tingginya. Sebagian dari sawah-ladang itu ditinggal dalam keadaan terurus, karena masih ada dunsanak jauh yang masih mau mengelola dan membagi hasilnya. Namun, sudah banyak pula Harta Pusaka Tinggi yang tidak terurus dan dibiarkan menjadi tanah tertinggal yang semakin lama semakin tidak terurus dan tidak menghasilkan. Para perantau kelompok ini sudah mulai berpikir, bagaimana kalau dijual saja dan hasilnya dibawa kerantau. Mereka sudah mulai berpikir Harta Pusaka Tinggi dan Tanah Ulayat itu sudah merupakan milik pribadi dan kelompok mereka, bukan lagi milik komural anak kemenakan generasi penerus.
Masalah ini kami anggap bom waktu yang akan memporak-porandakan salah satu fondasi kekuatan adat Minang yaitu Harta Pusaka Tinggi yang tidak boleh diperjual-belikan. “Tajua indah dimakan bali, tagagai indak dimakan sando”. Di berbagai daerah sudah terjadi jual-beli Harta Pusaka Tinggi, termasuk rumah Gadang yang dijual ke pihak asing.

Pagang Gadai sudah dirubah dengan istilah “Beli Putuih” dengan tertulis diketahui oleh pengurus K.A.N. Pola ini merupakan mulai rontoknya adat dari dalam. Sadarkah kita akan bahaya ini?

Adat Minang benar-benar sudah berada dipinggir jurang. Kawin sasuku sudah diberi jalan keluar. Penjualan Harta Pusaka Tinggi sudah dilakukan secara diam-diam. Bom-bom waktu ini akan menghancurkan sendi-sendi adat yang utama yaitu system kekerabatan matrilineal dan hukum Harta Pusaka Tinggi yang tidak bleh diperjual-belikan karena bukan milik pribadi melainkan tetap milik komunal berkelanjutan generasi.

Marilah kita bangkit menjinakkan bom-bom waktu adat budaya Minangkabau ini. Semoga Masyarakat Adat Minangkabau akan terhindar dari ledakan dahsyat yang akan menghancurkan warisan nenek moyang yang berusia lebih dari 5000 tahun ini. La Haula wala Quwwata Illa Billah. Allahu Akbar (Oleh   H. Amir M.S. Dt. Mangguang nan Sati)