1.
Luhak dan
Rantau
Minangkabau, lazim disebut
dengan Alam atau Ranah Minangkabau terdiri dari 2 bagian yang tak terpisahkan
yaitu Luhak nan Tigo dan Rantau nan Tigo.
Luhak nan Tigo disebut
dengan Daerah asli Minangkabu adalah Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak
Limopuluh Koto.
Rantau nan Tigo, Rantau
Pesisir Padang Pariaman, Rantau Timur sepanjang aliran sungai Kampar Kiri
Kampar Kanan, Indra Giri dan Batanghari yang bermuara di Selat Malaka dan
menyeberang sampai ke Sememnanjung Malaya (Malaysia sekarang). Di daerah lain
dimana terdapat perantau Minang disebut dengan Rantau Batuah.
2.
Hubungan
Ranah dan Rantau
Penolakan gagasan kongres
Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang oleh 25 kelompok organisasi dari Ranah
mencerminkan tidak serasinya hubungan Ranah dan Rantau pada tingkat elite
Minangkabau.
Keadaan ini menarik bila
dikaji perkembangannya, dibandingkan semangat rantau sejak awal.
Pada taraf awal orang
Minangkabau meninggalkan kampung halamannya secara sukarela. Dilepas sanak
keluarganya dengan perasaan haru. Dibekali dengan doa dan ajaran adat merantau
yang mengena, Diharapkan kembali membawa hasil dari rantau. Hubungan perantau
dengan karib kerabat yang ditinggal masih sangat akrab dan menyatu. Secara
fisik mereka memang berpisah, secara rohaniyah mereka tetap menyatu.
Pepatah mengajarkan “jauh dimato dakek dihati, bapisah bukannyo
bacarai”.
Demikianlah gambaran
hubungan perantau dengan dunsanak mereka diranah minang tahap awal. Masih
mesra.
Alam senantiasa berubah.
Pola hubungan Ranah dan Rantau pun juga berubah. Kalau dulu pola hidup merantau
sesuai gurindam sbb:
Karatau madang
diulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Diruma baguno balun
Satinggi
tinggi tabang bangau
Pulangnyo ka
kubangan juo
Sejauah jauah
rantau
Pulangnyo ka
kampuang juo
Sesuai gurindam adat diatas maka tujuan orang Minang
merantau ada dua yaitu:
·
Supaya
menjadi orang yang berguna. Berdaya guna.
·
Pulang
membawa hasil dari rantau. Berguna bagi ranah.
Pada taraf
awal, perantau Minang secara fisik selalu pulang kampung setidaknya sekali
setahun menjelang Lebaran. Bahkan, sering penghasilan memeras keringat setahun
habis untuk bekal pulang. Namun, pulang kampung tetap dipaksakan juga demi melepaskan
rindu kampuang halaman. Membawa oleh-oleh sekedarnya untuk dunsanak di kampung.
Begitulah pola hidup perantau taraf awal. Namun, sedikit demi sedikit pola
hidup rantau ini berubah.
Mereka yang
berhasil menjadi sibuk mengurus keberhasilannya dirantau. Mengurus tugas dan
jabatannya, mengurus dagangannya, mengurus anak-bininya dirantau, dan rumah
tangganya. Akhirnya mereka tidak punya waktu lagi untuk pulang kampung.
Organisasi kekerabatan sering mendorong perantau tipe ini untuk “Pulang Basamo” yang bertujuan untuk
tetap mengingatkan perantau Minang akan kampung halamannya. Menunjukan
keberhasilannya dirantau dengan menggerakan bantuan-bantuan pembangunan di
nagari masing-masing, serta mendorong pariwisata bagi anak-anaknya yang lahir
dirantau. Mereka belum pernah melihat kampuang halaman orangtuanya. Tujuan
semuanya adalah pulang membawa hasil dari rantau yang berguna bagi Ranah Minang
seluruhnya.
Bagi perantau
yang kurang berhasil. Pulang kampung bagi mereka mejadi beban mental dan
financial. Mereka takut diejek dan dicemooh yang sudah menjadi kebiasaan buruk
orang awak. Pergi keromutan mencarikan “punggung
nan indak basaok”, pulang kampung tetap menggadai sawah amai. Malu pulang
kampuang dan berat karena biaya yang memang susah didapat. Mereka melahirkan
papatah baru berbunyi sbb;
Dari
Maek ka Koto Gadang
Bakelok
jalan ka Pasa Ibuah
Kok
bansaek ka dibawo pulang
Eloklah
rantau di Pajauah
Keinginan
hati hendak pulang sama besarnya dengan mereka yang berhasil, apa daya tangan
tak sampai.
Fakta sejarah
membuktikan. Satu demi satu perantau Minangkabau, yang sukses maupun yang gagal
memulai pola hidup sebagai perantau menetap atau perantau cino. Kampung halaman
yang sudah merupakan masa lampau. Tinggal kenangan.
Sebaliknya
bagi masyarakat adat di Alam minangkabau di Tigo Luhak, maupun dirantau dakek
Padang, Pariaman, Pesisir dan Rantau Timur, mereka perantau pemukim/ perantau
cino ini sudah dianggap dan diperlakukan seperti orang asing pula, orang datang
yang sudah hampir tak dikenal. Para perantau sudah dianggap “tamu” di Nagarinya sendiri.
Pepatah
Minang yang berbunyi “Nan tuo dihormati,
samo gadang ajak bakawan. Nan ketek dilindungi” tidak berlaku bagi perantau
cino.
Dari perantau
cino mereka hanya butuh bantuan “pitih”. Bantuan
dalam bentuk nasihat, pemikiran, saran-saran, konsep jarang mereka terima.
Prinsip mereka sederhana “Kami lebih
tahu urusan kami dari anda para perantau” yang kami butuhkan hanya pitih,
sekali lagi pitih. Dengan pitih bereslah segalanya (AMS.TJ-2.103).
Demikianlah
pola hubungan masyaramat adat Minangkabau dengan para perantau diawal abad XXI
ini. Hubungan yang hanya bersifat materialistis, yakni hubungan “pitih”.
Akibatnya
hubungan Ranah dengan Rantau hanya sebatas hubungan materi belaka. Kendatipun
konkritasi hubungan itu mungkin sekali dalam bentuk gedung sekolah, tempat
ibadah, sarana olahraga, dan balai kesehatan yang akhirnya bermanfaat bagi
kebutuhan immaterial. Tapi intinya hanya sebatas “pitih”.
Tidak jelas
nampak adanya transformasi Ilmu Pengetahuan dan Hubungan emosional antara
perantau dengan dunsanak mereka di Nagari. Hasilnya kemajuan pemikiran dan
pengalaman yang diperoleh dirantau tidak banyak bermanfaat bagi kemajuan di
Ranah Minang sendiri. Sebaliknya, banyak perantau yang sudah tidak peduli lagi
dengan kondisi dan situasi di Ranah Minang. Mereka dengan mudah melanggar
ketentuan adat. Melakukan perkawinan sesuku dengan hanya sekedar membayar “Uang lompat pagar”, menjual Tanah
Pusaka Tinggi mereka dengan aneka cara dan dalih, mereka mampu melakukan itu
karena memang punya uang. Sebaliknya warga di kampung bisa pula menerima karena
mereka butuh uang. Astaghfirullahiladzim.
Kalau
diteliti lebih dalam, pola hidup orang Minang baik di rantau maupun di ranah
sudah cenderung pada pola hidup individualistis sesuai pemeo “Hang marahang, heng mereheng. Ang bakjanyo
ang, den bakjanyo den”. Pola pikir hidup komunal sudah sangat menipis. Tak
perlu lagi terlalu dipikirkan hidup dan kehidupan kemenakan di hari esok, yang
penting hidup hari ini dengan anak bini sendiri (AMS.TJ-2.104).
Masalah kita,
kapan pola hidup sesat semacam ini akan kita hentikan, kalau memang kita tidak
ingin masyarakat adat minangkabau ini tenggelam ditelan sejarah?
3.
Fakta
Objektif Alam Minangkabau
·
Pendukung adat budaya Minangkabau di awal
abad XXI ditaksir mencapai 12 juta orang baik di Ranah maupun di Rantau. Mereka
yang bermukim di Ranah Minang kurang lebih 4 juta orang. Sisanya berada di
Rantau seluruh Indonesia sekitar 8 juta orang. Pendeknya 2/3 bagian pendukung
budaya Minang berada di Rantau, hanya 1/3 yang bermukim di Ranah Sumatera
Barat.
Dr. Mochtar Naim (1980) dalam
disertasinya yang dibukukan berjudul Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau
menyebutkan, alasan orang Minangkabau merantau antara lain lebih dari separuh
orang Minang merantau karena dorongan ekonomi, seperempatnya mencari ilmu, dan
sisanya karena kondisi social lainnya.
Dengan asumsi sebagian besar perantau
mencapai tujuannya, hal ini berarti kehidupan ekonomi dan ilmu pengetahuan
orang rantau bertambah baik.
Bila rezeki yang berlebih dan ilmu
pengetahuan yang bertambah ini disumbangkan sebagian ke kampung halaman
masing-masing, pastilah akan menambah kemakmuran dan peningkatan pengetahuan
masyarakat di Sumatera Barat dimana orang Minang sebagian bermukim. Masalahnya
adalah apakah transformasi ekonomi dan pengetahuan ini berjalan tanpa kendala
dari Rantau ke Alam Minangkabau? (AMS.TJ-2.105).
·
Indeks prestasi pendidikan nasional
menunjukkan Sumatera Barat menempati posisi ke-29 dari 30 propinsi yang ada
(Tahun 2004) di N.K.R.I ini.
Dengan
Indeks prestasi yang rendah ini dapat diartikan secara prorate orang-orang
Minang yang berada di Rantau secara teoritis punya indeks prestasi lebih tinggi
dari mereka yang menetap di kampung halaman.
Kalau
transformasi Ilmu Pengetahuan orang Rantau ke Ranah Minang berjalan lancar,
mestinya indeks prestasi pendidikan di Sumatera Barat minimal sama dengan
Propinsi tingkat menengah lainnya, bukannya hanya selangkah dari yang paling
bawah. Memalukan.
Pengetahuan
dan pengalaman hidup orang Rantau tidak mengalir dan tidak meresap kedalam
pikiran dan perasaan dunsanaknya di
kampung halaman, hanya “pitih” yang
berhasil mengalir kedalam kantong para dunsanaknya di Ranah.
·
Tahun 2000 sebanyak 38.403 dari 551.394
balita di Sumatera Barat menderita busung lapar. Busung lapar memang masih
terdapat dimana-mana, namun secara presentasi Sumatera Barat adalah yang
tertinggi di Indonesia. Kurang makan, sangat memalukan.
Anak balita adalah generasi masa depan
kita. Mungkinkah kita dalam masa 20-25 tahun mendatang mengharapkan lahirnya
generasi cemerlang (Superstar) dari
balita busung lapar dilihat dari sudut kesehatan, kecerdasan dan pertumbuhan
generasi. Bukankah kemungkinannya adalah kita akan menemui generasi idiot?.
Pepatah mengatakan “gabak diulu tando ka hujan, cewang dilangik
tando ka paneh”. Generasi apa yang akan lahir dari balita busung lapar?
Marilah kita bersama-sama merenungkan ini!
4.
Tanah
Tertinggal bukan Daerah Tertinggal
Dua
pertiga orang Minang hidup di Rantau. Mula-mula hanya merantau semusim paling
lama setahun, kemudian pulang kampung. Lama-lama menjadi perantau pemukim tetap
atau perantau cino.
Fakta
menunjukkan sudah banyak di tiap Nagari, seluruh anggota sejurai, atau bahkan
saparuik sudah tinggal di Rantau sebagai penetap. Akibatnya, sudah tidak ada
lagi yang menghuni rumah Gadang dan rumah-rumah keluarga batih.
Sudah
banyak dari kelompok sajurai dan saparuik yang meninggalkan kampung halamannya,
sawah-ladang, Tanah Ulayatnya dan seluruh Harta Pusaka Tingginya. Sebagian dari
sawah-ladang itu ditinggal dalam keadaan
terurus, karena masih ada dunsanak jauh yang masih mau mengelola dan
membagi hasilnya. Namun, sudah banyak pula Harta Pusaka Tinggi yang tidak
terurus dan dibiarkan menjadi tanah
tertinggal yang semakin lama semakin tidak terurus dan tidak menghasilkan.
Para perantau kelompok ini sudah mulai berpikir, bagaimana kalau dijual saja
dan hasilnya dibawa kerantau. Mereka sudah mulai berpikir Harta Pusaka Tinggi
dan Tanah Ulayat itu sudah merupakan milik pribadi dan kelompok mereka, bukan
lagi milik komural anak kemenakan generasi penerus.
Masalah
ini kami anggap bom waktu yang akan
memporak-porandakan salah satu fondasi kekuatan adat Minang yaitu Harta Pusaka
Tinggi yang tidak boleh diperjual-belikan. “Tajua
indah dimakan bali, tagagai indak dimakan sando”. Di berbagai daerah sudah
terjadi jual-beli Harta Pusaka Tinggi, termasuk rumah Gadang yang dijual ke
pihak asing.
Pagang
Gadai sudah dirubah dengan istilah “Beli
Putuih” dengan tertulis diketahui oleh pengurus K.A.N. Pola ini merupakan
mulai rontoknya adat dari dalam. Sadarkah kita akan bahaya ini?
Adat
Minang benar-benar sudah berada dipinggir jurang. Kawin sasuku sudah diberi
jalan keluar. Penjualan Harta Pusaka Tinggi sudah dilakukan secara diam-diam.
Bom-bom waktu ini akan menghancurkan sendi-sendi adat yang utama yaitu system
kekerabatan matrilineal dan hukum Harta Pusaka Tinggi yang tidak bleh
diperjual-belikan karena bukan milik pribadi melainkan tetap milik komunal
berkelanjutan generasi.
Marilah kita bangkit
menjinakkan bom-bom waktu adat budaya Minangkabau ini. Semoga Masyarakat Adat
Minangkabau akan terhindar dari ledakan dahsyat yang akan menghancurkan warisan
nenek moyang yang berusia lebih dari 5000 tahun ini. La Haula wala Quwwata Illa
Billah. Allahu Akbar (Oleh H. Amir M.S. Dt. Mangguang nan Sati)