Kamis, 26 Februari 2015

HUBUNGAN RANAH DAN RANTAU MINANGKABAU Potensi Bom Waktu Masyarakat Adat Minangkabau

1.   Luhak dan Rantau

Minangkabau, lazim disebut dengan Alam atau Ranah Minangkabau terdiri dari 2 bagian yang tak terpisahkan yaitu Luhak nan Tigo dan Rantau nan Tigo.

Luhak nan Tigo disebut dengan Daerah asli Minangkabu adalah Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limopuluh Koto.

Rantau nan Tigo, Rantau Pesisir Padang Pariaman, Rantau Timur sepanjang aliran sungai Kampar Kiri Kampar Kanan, Indra Giri dan Batanghari yang bermuara di Selat Malaka dan menyeberang sampai ke Sememnanjung Malaya (Malaysia sekarang). Di daerah lain dimana terdapat perantau Minang disebut dengan Rantau Batuah.

2.   Hubungan Ranah dan Rantau

Penolakan gagasan kongres Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang oleh 25 kelompok organisasi dari Ranah mencerminkan tidak serasinya hubungan Ranah dan Rantau pada tingkat elite Minangkabau.

Keadaan ini menarik bila dikaji perkembangannya, dibandingkan semangat rantau sejak awal.

Pada taraf awal orang Minangkabau meninggalkan kampung halamannya secara sukarela. Dilepas sanak keluarganya dengan perasaan haru. Dibekali dengan doa dan ajaran adat merantau yang mengena, Diharapkan kembali membawa hasil dari rantau. Hubungan perantau dengan karib kerabat yang ditinggal masih sangat akrab dan menyatu. Secara fisik mereka memang berpisah, secara rohaniyah mereka tetap menyatu.

Pepatah mengajarkan “jauh dimato dakek dihati, bapisah bukannyo bacarai”.

Demikianlah gambaran hubungan perantau dengan dunsanak mereka diranah minang tahap awal. Masih mesra.

Alam senantiasa berubah. Pola hubungan Ranah dan Rantau pun juga berubah. Kalau dulu pola hidup merantau sesuai gurindam sbb:

            Karatau madang diulu
            Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Diruma baguno balun
           
Satinggi tinggi tabang bangau
Pulangnyo ka kubangan juo
Sejauah jauah rantau
Pulangnyo ka kampuang juo

            Sesuai gurindam adat diatas maka tujuan orang Minang merantau ada dua yaitu:
·         Supaya menjadi orang yang berguna. Berdaya guna.
·         Pulang membawa hasil dari rantau. Berguna bagi ranah.

Pada taraf awal, perantau Minang secara fisik selalu pulang kampung setidaknya sekali setahun menjelang Lebaran. Bahkan, sering penghasilan memeras keringat setahun habis untuk bekal pulang. Namun, pulang kampung tetap dipaksakan juga demi melepaskan rindu kampuang halaman. Membawa oleh-oleh sekedarnya untuk dunsanak di kampung. Begitulah pola hidup perantau taraf awal. Namun, sedikit demi sedikit pola hidup rantau ini berubah.

Mereka yang berhasil menjadi sibuk mengurus keberhasilannya dirantau. Mengurus tugas dan jabatannya, mengurus dagangannya, mengurus anak-bininya dirantau, dan rumah tangganya. Akhirnya mereka tidak punya waktu lagi untuk pulang kampung. Organisasi kekerabatan sering mendorong perantau tipe ini untuk “Pulang Basamo” yang bertujuan untuk tetap mengingatkan perantau Minang akan kampung halamannya. Menunjukan keberhasilannya dirantau dengan menggerakan bantuan-bantuan pembangunan di nagari masing-masing, serta mendorong pariwisata bagi anak-anaknya yang lahir dirantau. Mereka belum pernah melihat kampuang halaman orangtuanya. Tujuan semuanya adalah pulang membawa hasil dari rantau yang berguna bagi Ranah Minang seluruhnya.

Bagi perantau yang kurang berhasil. Pulang kampung bagi mereka mejadi beban mental dan financial. Mereka takut diejek dan dicemooh yang sudah menjadi kebiasaan buruk orang awak. Pergi keromutan mencarikan “punggung nan indak basaok”, pulang kampung tetap menggadai sawah amai. Malu pulang kampuang dan berat karena biaya yang memang susah didapat. Mereka melahirkan papatah baru berbunyi sbb;

Dari Maek ka Koto Gadang
Bakelok jalan ka Pasa Ibuah
Kok bansaek ka dibawo pulang
Eloklah rantau di Pajauah

Keinginan hati hendak pulang sama besarnya dengan mereka yang berhasil, apa daya tangan tak sampai.

Fakta sejarah membuktikan. Satu demi satu perantau Minangkabau, yang sukses maupun yang gagal memulai pola hidup sebagai perantau menetap atau perantau cino. Kampung halaman yang sudah merupakan masa lampau. Tinggal kenangan.
Sebaliknya bagi masyarakat adat di Alam minangkabau di Tigo Luhak, maupun dirantau dakek Padang, Pariaman, Pesisir dan Rantau Timur, mereka perantau pemukim/ perantau cino ini sudah dianggap dan diperlakukan seperti orang asing pula, orang datang yang sudah hampir tak dikenal. Para perantau sudah dianggap “tamu” di Nagarinya sendiri.

Pepatah Minang yang berbunyi “Nan tuo dihormati, samo gadang ajak bakawan. Nan ketek dilindungi” tidak berlaku bagi perantau cino.
Dari perantau cino mereka hanya butuh bantuan “pitih”. Bantuan dalam bentuk nasihat, pemikiran, saran-saran, konsep jarang mereka terima. Prinsip mereka sederhana “Kami lebih tahu urusan kami dari anda para perantau” yang kami butuhkan hanya pitih, sekali lagi pitih. Dengan pitih bereslah segalanya (AMS.TJ-2.103).

Demikianlah pola hubungan masyaramat adat Minangkabau dengan para perantau diawal abad XXI ini. Hubungan yang hanya bersifat materialistis, yakni hubungan “pitih”.

Akibatnya hubungan Ranah dengan Rantau hanya sebatas hubungan materi belaka. Kendatipun konkritasi hubungan itu mungkin sekali dalam bentuk gedung sekolah, tempat ibadah, sarana olahraga, dan balai kesehatan yang akhirnya bermanfaat bagi kebutuhan immaterial. Tapi intinya hanya sebatas “pitih”.

Tidak jelas nampak adanya transformasi Ilmu Pengetahuan dan Hubungan emosional antara perantau dengan dunsanak mereka di Nagari. Hasilnya kemajuan pemikiran dan pengalaman yang diperoleh dirantau tidak banyak bermanfaat bagi kemajuan di Ranah Minang sendiri. Sebaliknya, banyak perantau yang sudah tidak peduli lagi dengan kondisi dan situasi di Ranah Minang. Mereka dengan mudah melanggar ketentuan adat. Melakukan perkawinan sesuku dengan hanya sekedar membayar “Uang lompat pagar”, menjual Tanah Pusaka Tinggi mereka dengan aneka cara dan dalih, mereka mampu melakukan itu karena memang punya uang. Sebaliknya warga di kampung bisa pula menerima karena mereka butuh uang. Astaghfirullahiladzim.

Kalau diteliti lebih dalam, pola hidup orang Minang baik di rantau maupun di ranah sudah cenderung pada pola hidup individualistis sesuai pemeo “Hang marahang, heng mereheng. Ang bakjanyo ang, den bakjanyo den”. Pola pikir hidup komunal sudah sangat menipis. Tak perlu lagi terlalu dipikirkan hidup dan kehidupan kemenakan di hari esok, yang penting hidup hari ini dengan anak bini sendiri (AMS.TJ-2.104).

Masalah kita, kapan pola hidup sesat semacam ini akan kita hentikan, kalau memang kita tidak ingin masyarakat adat minangkabau ini tenggelam ditelan sejarah?

3.   Fakta Objektif Alam Minangkabau

·         Pendukung adat budaya Minangkabau di awal abad XXI ditaksir mencapai 12 juta orang baik di Ranah maupun di Rantau. Mereka yang bermukim di Ranah Minang kurang lebih 4 juta orang. Sisanya berada di Rantau seluruh Indonesia sekitar 8 juta orang. Pendeknya 2/3 bagian pendukung budaya Minang berada di Rantau, hanya 1/3 yang bermukim di Ranah Sumatera Barat.

Dr. Mochtar Naim (1980) dalam disertasinya yang dibukukan berjudul Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau menyebutkan, alasan orang Minangkabau merantau antara lain lebih dari separuh orang Minang merantau karena dorongan ekonomi, seperempatnya mencari ilmu, dan sisanya karena kondisi social lainnya.

Dengan asumsi sebagian besar perantau mencapai tujuannya, hal ini berarti kehidupan ekonomi dan ilmu pengetahuan orang rantau bertambah baik.

Bila rezeki yang berlebih dan ilmu pengetahuan yang bertambah ini disumbangkan sebagian ke kampung halaman masing-masing, pastilah akan menambah kemakmuran dan peningkatan pengetahuan masyarakat di Sumatera Barat dimana orang Minang sebagian bermukim. Masalahnya adalah apakah transformasi ekonomi dan pengetahuan ini berjalan tanpa kendala dari Rantau ke Alam Minangkabau? (AMS.TJ-2.105).

·         Indeks prestasi pendidikan nasional menunjukkan Sumatera Barat menempati posisi ke-29 dari 30 propinsi yang ada (Tahun 2004) di N.K.R.I ini.
Dengan Indeks prestasi yang rendah ini dapat diartikan secara prorate orang-orang Minang yang berada di Rantau secara teoritis punya indeks prestasi lebih tinggi dari mereka yang menetap di kampung halaman.

Kalau transformasi Ilmu Pengetahuan orang Rantau ke Ranah Minang berjalan lancar, mestinya indeks prestasi pendidikan di Sumatera Barat minimal sama dengan Propinsi tingkat menengah lainnya, bukannya hanya selangkah dari yang paling bawah. Memalukan.

Pengetahuan dan pengalaman hidup orang Rantau tidak mengalir dan tidak meresap kedalam pikiran dan perasaan  dunsanaknya di kampung halaman, hanya “pitih” yang berhasil mengalir kedalam kantong para dunsanaknya di Ranah.
·         Tahun 2000 sebanyak 38.403 dari 551.394 balita di Sumatera Barat menderita busung lapar. Busung lapar memang masih terdapat dimana-mana, namun secara presentasi Sumatera Barat adalah yang tertinggi di Indonesia. Kurang makan, sangat memalukan.

Anak balita adalah generasi masa depan kita. Mungkinkah kita dalam masa 20-25 tahun mendatang mengharapkan lahirnya generasi cemerlang (Superstar) dari balita busung lapar dilihat dari sudut kesehatan, kecerdasan dan pertumbuhan generasi. Bukankah kemungkinannya adalah kita akan menemui generasi idiot?.

Pepatah mengatakan “gabak diulu tando ka hujan, cewang dilangik tando ka paneh”. Generasi apa yang akan lahir dari balita busung lapar? Marilah kita bersama-sama merenungkan ini!

4.   Tanah Tertinggal bukan Daerah Tertinggal

Dua pertiga orang Minang hidup di Rantau. Mula-mula hanya merantau semusim paling lama setahun, kemudian pulang kampung. Lama-lama menjadi perantau pemukim tetap atau perantau cino.

Fakta menunjukkan sudah banyak di tiap Nagari, seluruh anggota sejurai, atau bahkan saparuik sudah tinggal di Rantau sebagai penetap. Akibatnya, sudah tidak ada lagi yang menghuni rumah Gadang dan rumah-rumah keluarga batih.

Sudah banyak dari kelompok sajurai dan saparuik yang meninggalkan kampung halamannya, sawah-ladang, Tanah Ulayatnya dan seluruh Harta Pusaka Tingginya. Sebagian dari sawah-ladang itu ditinggal dalam keadaan terurus, karena masih ada dunsanak jauh yang masih mau mengelola dan membagi hasilnya. Namun, sudah banyak pula Harta Pusaka Tinggi yang tidak terurus dan dibiarkan menjadi tanah tertinggal yang semakin lama semakin tidak terurus dan tidak menghasilkan. Para perantau kelompok ini sudah mulai berpikir, bagaimana kalau dijual saja dan hasilnya dibawa kerantau. Mereka sudah mulai berpikir Harta Pusaka Tinggi dan Tanah Ulayat itu sudah merupakan milik pribadi dan kelompok mereka, bukan lagi milik komural anak kemenakan generasi penerus.
Masalah ini kami anggap bom waktu yang akan memporak-porandakan salah satu fondasi kekuatan adat Minang yaitu Harta Pusaka Tinggi yang tidak boleh diperjual-belikan. “Tajua indah dimakan bali, tagagai indak dimakan sando”. Di berbagai daerah sudah terjadi jual-beli Harta Pusaka Tinggi, termasuk rumah Gadang yang dijual ke pihak asing.

Pagang Gadai sudah dirubah dengan istilah “Beli Putuih” dengan tertulis diketahui oleh pengurus K.A.N. Pola ini merupakan mulai rontoknya adat dari dalam. Sadarkah kita akan bahaya ini?

Adat Minang benar-benar sudah berada dipinggir jurang. Kawin sasuku sudah diberi jalan keluar. Penjualan Harta Pusaka Tinggi sudah dilakukan secara diam-diam. Bom-bom waktu ini akan menghancurkan sendi-sendi adat yang utama yaitu system kekerabatan matrilineal dan hukum Harta Pusaka Tinggi yang tidak bleh diperjual-belikan karena bukan milik pribadi melainkan tetap milik komunal berkelanjutan generasi.

Marilah kita bangkit menjinakkan bom-bom waktu adat budaya Minangkabau ini. Semoga Masyarakat Adat Minangkabau akan terhindar dari ledakan dahsyat yang akan menghancurkan warisan nenek moyang yang berusia lebih dari 5000 tahun ini. La Haula wala Quwwata Illa Billah. Allahu Akbar (Oleh   H. Amir M.S. Dt. Mangguang nan Sati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar