Minggu, 18 Januari 2015

From Rantau with Fund

Momentum pasca lebaran merupakan waktu yang pas untuk menengok kembali potensi “diaspora filantropi” di Indonesia. Diaspora filantropi atau “kedermawanan ala perantau” merupakan salah satu potensi kedermawanan di Indonesia yang cukup unik. Kedermawanan ini diwujudkan dengan pemberian sumbangan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk bantuan lainnya oleh warga yang merantau di kota-kota besar kepada kampung halamannya. Model kedermawanan semacam ini banyak ditemui di berbagai daerah karena masyarakat kita punya tradisi merantau yang cukup kuat dan hampir ada di semua komunitas.

Masyarakat Minang, misalnya, punya budaya merantau cukup kuat. Mereka punya falsafah yang menyatakan “krantau madang di ulu, babuah babungo balun. Merantau bujang dahulu, di rumah paguno balun”. Falsafah ini memberikan inspirasi pada para pemuda Minang untuk mengadu nasib ke berbagai daerah guna membantu mengatasi persoalan hidup yang sulit di tanah kelahirannya. Upaya merantau ini juga dilakukan karena mereka merasa “kurang berguna” di tanah kelahirannya dan perlu menimba ilmu serta pengalaman di daerah lain untuk kelak dijadikan bekal bagi pembangunan kampung halaman.

Tradisi serupa juga ditemui dalam Komunitas masyarakat Nias. Mereka mempunyai kebiasaan untuk berpindah atau mengadu nasib ke daerah lain, yang dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan mukoli (merantau). Daerah yang dituju awalnya berkisar seputar kepulauan Nias dan Gunung sitoli. Namun, seiring dengan terbukanya jaringan transportasi yang lebih lancar seperti sekarang ini, para sikoli (perantau) ini juga mencoba mengadu nasib ke berbagai kota besar di Indonesia. Seperti halnya masyarakat Padang, tradisi mukoli ini juga didorong oleh motif ekonomi, terutama karena lahan di desanya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya dan atau lahan yang tersedia kurang subur.

Perantau yang berhasil meningkatkan status ekonominya di daerah perantau umumnya tetap peduli dan tidak melupakan kampung halamannya, dimana sanak saudaranya masih menetap. Kepedulian itu diwujudkan dengan menyisihkan pendapatan yang didapat di perantauan untuk kampung halaman. Pendistribusian sumbangan dari kota ke kampung ini sebagian besar dilakukan secara sendiri-sendiri menjelang hari lebaran atau natal. Pada saat itulah para perantau mudik atau pulang basamo ke kampungnya untuk bersilaturrahmi dengan keluarganya sekaligus memberikan hasil jerih payahnya untuk kampung tercinta. Tak heran, jika pendistribusian dana dari para perantau ini mengalami booming pada dua hari raya tersebut.

Penerima donasi yang diberikan secara individu dan langsung oleh para perantau ini umumnya adalah sanak saudara yang ada di kampung. Mereka mempergunakannya sebagian untuk keperluan konsumtif seperti membangun rumah, memenuhi kebutuhan sehari-hari, sampai membiayai acara pernikahan anak atau sanak saudara. Namun, sebagian lainnya digunakan untuk keperluan atau kegiatan sosial, seperti membangun mesjid, sekolah atau membiayai pendidikan anak-anak kampung.
Organisasi perantauan

Selain diserahkan secara langsung, sebagian sumbangan dari rantau itu juga digalang dan didistribusikan oleh organisasi sosial yang dibentuk di daerah perantuan ataupun di kampung halaman. Komunitas Padang, misalnya, memiliki banyak organisasi yang menggalang dan mengelola sumbangan dari para perantau. Organisasi ini terdapat di berbagai kota besar di Indonesia, bahkan membuka kantor perwakilan di luar negeri. Di Jakarta saja terdapat lebih dari 30 organisasi semacam ini. Diantaranya, Gebu Minang (gerakan seribu rupiah masyarakat minang), SAS (sulit air sepakat), gesor (gerkaan sosial orang rantau), yayasan bundo kanduang dll. )

Program serupa juga dilakukan oleh para perantau dari Dusun Malangsari, Desa Pandeyan, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Mereka umumnya berprofesi tukang reparasi radiator di berbagai kota besar di Indonesia. Para perantau yang tergabung dalam Paguyuban Tukang Reparasi se-Jawa, Bali dan Sumatera (PTR-JBS) itu secara rutin menyisihkan derma bagi kampung halamannya lewat paguyubannya. Salah satu wujud dari sumbangan itu adalah membenton jalan desa sepanjang 760 m yang menghabiskan biaya Rp.33,5 juta.

Sementara para perantau dari Desa Siman, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur bergabung dalam paguyuban Siman Jaya. Paguyuban ini menggalang dan mengelola sumbangan dari para perantau asal desa itu yang sebagian besar berjualan soto Lamongan dan pecel lele di Jakarta, Surabaya, Bandung dan daerah lainnya. Kontribusi dari para perantau inilah yang memungkinkan desa itu memiliki sekolah, jalan dan mesjid termegah di Lamongan.

Besarnya potensi sumbangan para perantau ini juga menarik minat beberapa pemerintah daerah untuk memobilisirnya. Mantan Gubernur Sumatera utara Raja Inal Siregar, misalnya, pernah memobilisir sumbangan dari para perantau Sumatera Utara lewat program Marsipature Hutana Be disingkat Martabe, yang berarti „membangun kampung masing-masing“. Gubernur menghimbau para perantau untuk sesekali pulang kampung dan membantu pembangunan kampung halamannya masing-masing, baik dengan uang, tenaga atau pemikiran. Bila kebetulan tidak bisa pulang, bantuan bisa disalurkan melalui keluarga, teman atau pihak kepala desa dan kelurahan. Sayangnya, program ini dinilai kurang berhasil karena tidak digarap dengan serius.

Dalam beberapa tahun terakhir penggalangan dana dari perantau mulai berkembang dan tidak lagi terfokus pada perantau lokal, tapi juga pada prantau di luar negeri. PKPU (Pos Keadilan Peduli Ummat), misalnya sekarang tengah mengintensifkan penggalangan dana dari berbagai perantau Indonesia di Malaysia, Singapura, Hongkong, Jepang dan Australia. Salah satu lembaga sosial penggalang dana terbesar itu berupaya menjalin komunikasi dengan mereka lewat e-mail, surat atau telepon. Pada saat-saat tertentu, staf PKPU juga mengunjungi para perantau itu untuk mensosialisasikan program dan kegiatannya. Dari upaya semacam ini, PKPU berhasil menjaring sumbangan rutin tidak kurang dari Rp.40 juta per bulan.

Problem Pendayagunaan

Penggalangan dan pendayagunaan dana sosial dari para perantau barangkali merupakan wujud sumbangan yang unik dan menarik dalam pembangunan sosial kemasyarakatan. Sebab, tak banyak individu perantau dengan kesamaan profesi mau peduli dan rela membentuk paguyuban atau organisasi sosial. Juga tak semua perantau yang sukses peduli dengan kemajuan kampung halaman asal mereka. Karena mendapatkan kekayaan di perantauan, mereka cenderung lupa kampung halaman. Mereka terlena menikmati kemakmuran itu secara individual.  Sumbangan dari para perantau ini juga telah menjadi semacam dana alternatif bagi pembangunan desa ataupun bagi masyarakatnya. Karena itu, kepulangan para perantau menjadi berkah bagi orang kampung karena tak sedikit uang yang mengalir dari kantong mereka dapat membantu kebutuhan hidup warga kampung. Berbagai kegiatan pembangunan fisik di kampung yang selama ini berjalan lambat karena minimnya dana dan perhatian pemerintah juga bisa diatasi.

Tak heran jika di beberapa daerah, ada desa-desa tertentu yang gemerlap berhias rumah-rumah mewah yang dibangun para perantau yang sukses. Bahkan, uang kiriman dari rantau ke desa. (Zaim Zaidi dan Hamid Abidin dalam “Menjadi Bangsa Pemurah, Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia”, PIRAC  2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar