Momentum pasca lebaran
merupakan waktu yang pas untuk menengok kembali potensi “diaspora filantropi”
di Indonesia. Diaspora filantropi atau “kedermawanan ala perantau” merupakan
salah satu potensi kedermawanan di Indonesia yang cukup unik. Kedermawanan ini
diwujudkan dengan pemberian sumbangan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk
bantuan lainnya oleh warga yang merantau di kota-kota besar kepada kampung
halamannya. Model kedermawanan semacam ini banyak ditemui di berbagai daerah
karena masyarakat kita punya tradisi merantau yang cukup kuat dan hampir ada di
semua komunitas.
Masyarakat Minang,
misalnya, punya budaya merantau cukup kuat. Mereka punya falsafah yang
menyatakan “krantau madang di ulu, babuah babungo balun. Merantau bujang
dahulu, di rumah paguno balun”. Falsafah ini memberikan inspirasi pada para
pemuda Minang untuk mengadu nasib ke berbagai daerah guna membantu mengatasi
persoalan hidup yang sulit di tanah kelahirannya. Upaya merantau ini juga
dilakukan karena mereka merasa “kurang berguna” di tanah kelahirannya dan perlu
menimba ilmu serta pengalaman di daerah lain untuk kelak dijadikan bekal bagi
pembangunan kampung halaman.
Tradisi serupa juga
ditemui dalam Komunitas masyarakat Nias. Mereka mempunyai kebiasaan untuk
berpindah atau mengadu nasib ke daerah lain, yang dalam bahasa setempat dikenal
dengan sebutan mukoli (merantau). Daerah yang dituju awalnya berkisar seputar
kepulauan Nias dan Gunung sitoli. Namun, seiring dengan terbukanya jaringan
transportasi yang lebih lancar seperti sekarang ini, para sikoli (perantau) ini
juga mencoba mengadu nasib ke berbagai kota besar di Indonesia. Seperti halnya
masyarakat Padang, tradisi mukoli ini juga didorong oleh motif ekonomi,
terutama karena lahan di desanya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya dan atau
lahan yang tersedia kurang subur.
Perantau yang berhasil
meningkatkan status ekonominya di daerah perantau umumnya tetap peduli dan
tidak melupakan kampung halamannya, dimana sanak saudaranya masih menetap. Kepedulian
itu diwujudkan dengan menyisihkan pendapatan yang didapat di perantauan untuk
kampung halaman. Pendistribusian sumbangan dari kota ke kampung ini sebagian
besar dilakukan secara sendiri-sendiri menjelang hari lebaran atau natal. Pada
saat itulah para perantau mudik atau pulang basamo ke kampungnya untuk
bersilaturrahmi dengan keluarganya sekaligus memberikan hasil jerih payahnya
untuk kampung tercinta. Tak heran, jika pendistribusian dana dari para perantau
ini mengalami booming pada dua hari raya tersebut.
Penerima donasi yang
diberikan secara individu dan langsung oleh para perantau ini umumnya adalah
sanak saudara yang ada di kampung. Mereka mempergunakannya sebagian untuk
keperluan konsumtif seperti membangun rumah, memenuhi kebutuhan sehari-hari,
sampai membiayai acara pernikahan anak atau sanak saudara. Namun, sebagian
lainnya digunakan untuk keperluan atau kegiatan sosial, seperti membangun
mesjid, sekolah atau membiayai pendidikan anak-anak kampung.
Organisasi
perantauan
Selain diserahkan secara
langsung, sebagian sumbangan dari rantau itu juga digalang dan didistribusikan
oleh organisasi sosial yang dibentuk di daerah perantuan ataupun di kampung
halaman. Komunitas Padang, misalnya, memiliki banyak organisasi yang menggalang
dan mengelola sumbangan dari para perantau. Organisasi ini terdapat di berbagai
kota besar di Indonesia, bahkan membuka kantor perwakilan di luar negeri. Di
Jakarta saja terdapat lebih dari 30 organisasi semacam ini. Diantaranya, Gebu
Minang (gerakan seribu rupiah masyarakat minang), SAS (sulit air sepakat),
gesor (gerkaan sosial orang rantau), yayasan bundo kanduang dll. )
Program serupa juga dilakukan
oleh para perantau dari Dusun Malangsari, Desa Pandeyan, Kecamatan Jatisrono,
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Mereka umumnya berprofesi tukang reparasi
radiator di berbagai kota besar di Indonesia. Para perantau yang tergabung
dalam Paguyuban Tukang Reparasi se-Jawa, Bali dan Sumatera (PTR-JBS) itu secara
rutin menyisihkan derma bagi kampung halamannya lewat paguyubannya. Salah satu
wujud dari sumbangan itu adalah membenton jalan desa sepanjang 760 m yang
menghabiskan biaya Rp.33,5 juta.
Sementara para perantau
dari Desa Siman, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur bergabung
dalam paguyuban Siman Jaya. Paguyuban ini menggalang dan mengelola sumbangan
dari para perantau asal desa itu yang sebagian besar berjualan soto Lamongan
dan pecel lele di Jakarta, Surabaya, Bandung dan daerah lainnya. Kontribusi
dari para perantau inilah yang memungkinkan desa itu memiliki sekolah, jalan
dan mesjid termegah di Lamongan.
Besarnya potensi
sumbangan para perantau ini juga menarik minat beberapa pemerintah daerah untuk
memobilisirnya. Mantan Gubernur Sumatera utara Raja Inal Siregar, misalnya,
pernah memobilisir sumbangan dari para perantau Sumatera Utara lewat program
Marsipature Hutana Be disingkat Martabe, yang berarti „membangun kampung
masing-masing“. Gubernur menghimbau para perantau untuk sesekali pulang kampung
dan membantu pembangunan kampung halamannya masing-masing, baik dengan uang,
tenaga atau pemikiran. Bila kebetulan tidak bisa pulang, bantuan bisa
disalurkan melalui keluarga, teman atau pihak kepala desa dan kelurahan.
Sayangnya, program ini dinilai kurang berhasil karena tidak digarap dengan
serius.
Dalam beberapa tahun
terakhir penggalangan dana dari perantau mulai berkembang dan tidak lagi
terfokus pada perantau lokal, tapi juga pada prantau di luar negeri. PKPU (Pos
Keadilan Peduli Ummat), misalnya sekarang tengah mengintensifkan penggalangan
dana dari berbagai perantau Indonesia di Malaysia, Singapura, Hongkong, Jepang
dan Australia. Salah satu lembaga sosial penggalang dana terbesar itu berupaya
menjalin komunikasi dengan mereka lewat e-mail, surat atau telepon. Pada
saat-saat tertentu, staf PKPU juga mengunjungi para perantau itu untuk
mensosialisasikan program dan kegiatannya. Dari upaya semacam ini, PKPU
berhasil menjaring sumbangan rutin tidak kurang dari Rp.40 juta per bulan.
Problem
Pendayagunaan
Penggalangan dan
pendayagunaan dana sosial dari para perantau barangkali merupakan wujud
sumbangan yang unik dan menarik dalam pembangunan sosial kemasyarakatan. Sebab,
tak banyak individu perantau dengan kesamaan profesi mau peduli dan rela
membentuk paguyuban atau organisasi sosial. Juga tak semua perantau yang sukses
peduli dengan kemajuan kampung halaman asal mereka. Karena mendapatkan kekayaan
di perantauan, mereka cenderung lupa kampung halaman. Mereka terlena menikmati
kemakmuran itu secara individual. Sumbangan
dari para perantau ini juga telah menjadi semacam dana alternatif bagi
pembangunan desa ataupun bagi masyarakatnya. Karena itu, kepulangan para
perantau menjadi berkah bagi orang kampung karena tak sedikit uang yang
mengalir dari kantong mereka dapat membantu kebutuhan hidup warga kampung. Berbagai
kegiatan pembangunan fisik di kampung yang selama ini berjalan lambat karena
minimnya dana dan perhatian pemerintah juga bisa diatasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar