Buku ini (172 halaman, 16x24 cm) diterbitkan oleh PT. Mutiara Sumber Wydia, tahun 2008 ditulis oleh Amir M. S, Cetakan petama tahun 2003 dan cetakan kedua tahun 2008.
Agama Islam menentukan warisan harta diturunkan kepada anak. Kenapa adat masih bertahan mewariskan harta kepada kemenakan? Dimana letaknya Adat Basandi syarak-syarak basandi Kitabullah? Agama Islam memperbolehkan mengawini wanita diluar saudara kandung dan saudara sesuku?
Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini yang akhirnya berujung pada pertanyaan yang bernada sarkatis yang
berbunyi: “apakah adat Minangkabau masih applicable (terpakai) seperti yang
muncul dalam internet pada gantino@indo.net.id
tertanggal 26 Maret 2001”.
Ketentuan adat
Minangkabau tentang kepemilikan Harta Pusaka Tinggi adalah sebagai berikut: a. Tajua indak dimakan
bali
dan b. Tasando indak dimakan gadai.
Ketentuan adat
yang semacam ini mempunyai makna yang sangat positif bagi hidup dan kehidupan
orang Minang. Tanah Pusaka Tinggi yang tidak boleh diperjual belikan ini
menjadikan setiap orang Minang mempunyai kekayaan abadi dalam bentuk Tanah
Pusaka Tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai landasan kehidupan ekonomisnya
sepanjang hayat. Semiskin miskinnya orang Minangkabau, tanah satompok tetap
punya. Pada dasarnya orang Minangkabau takkan mungkin tidur di kolong langit,
Dia akan selalu punya surau atau rumah gadang untuk berteduh.
Namun bagaimana
dengan kebutuhan tanah untuk pembangunan Pemerintah dan para investor atau
pengusaha. Kendatipun mereka kaya raya dengan uang, mana mungkin mereka akan
dapat membeli tanak pusaka tinggi Minangkabau untuk keperluan prasarana umum,
fasilitas sosial serta untuk keperluan industry, perkebunan dan kegiatan
ekonomi lainnya.
Kesimpulan
mereka itu, Hukum Tanah Pusaka Tinggi Minangkabau yang tidak boleh dijual ini
menjadi kendala bagi proyek pembangunan, dan bagi aktifitas ekonomi modern
lainnya.
Andaikata
pemerintah mampu mengundang investor lokal maupun asing untuk datang ke Sumatera Barat misalnya untuk mendirikan hotel mewah,
supermarket dan Hypermarket nan megah, mana mungkin mereka merealisasikan
gagasan-gagasannya bila tidak mungkin membeli tanah-tanah di Minangkabau.
Sesempit itukah
hukum adat Minangkabau tentang Tanah Pusaka Tinggi. Adalah kewajiban kita
bersama, orang Minangkabau, untuk mencari jawaban diatas pertanyaan-pertanyaan
yang sangat pessimistis ini. Salah satu bab dari buku ini mencoba mengajukan
suatu wacana untuk mencari solusinya. Semoga wacana ini akan ditingkatkan oleh
yang berwenang menjadi suatu kebijakan yang menetramkan semua pihak.
lahir di Kubang, 11 Mei
1932, Kecamatan Guguk Kabupaten Limapuluh Kota. Payakumbuh - Sumatera Barat.
Berpendidikan Sosial Ekonomi dan Politik. Berpengalaman sebagai Praktisi
Bisnis, Instruktur, Dosen Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Manajemen. Beristri
tunggal, beranak lima, bercucu 11 pada taun 2008. Penulis buku Tonggak Tuo
Budaya Minang, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Masyarakat
Adat Minangkabau Terancam Punah, dan buku-buku Perdagangan Internasional Ekspor
Impor
dima kamanakan bali buku koh
BalasHapus