Kamis, 05 Februari 2015

Kajian terhadap Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya





Kajian terhadap Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
Nurul Firmansyah dan
Yance Arizona
(Perkumpulan HuMa dan Perkumpulan Qbar)
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang.
Tanah ulayat merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu masyarakat adat. Perjuangan pengakuan atas tanah ulayat merupakan agenda utama gerakan masyarakat adat di Indonesia dan dunia. Pada level internasional perjuangan itu telah sampai pada Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indegenous Peoples) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 13 September 2007. Salah satu isi dari deklarasi tersebut adalah penegasan hubungan antara masyarakat adat dengan hak-hak tradisionalnya, termasuk tanah ulayat, sebagai hak-hak dasar yang harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi secara universal.[1]
Perjuangan hak masyarakat adat terutama dalam hal penguasaan ulayat (sumber daya alam) di Indonesia acap terbentur oleh kebijakan agraria nasional dan atau kebijakan PSDA yang sektoral, dan menggantungkan hak ulayat kepada pengakuan negara dengan batas-batas pengakuan hak yang rinci dan jelimet. Kondisi kebijakan tersebut di perparah lagi oleh berbagai distorsi penafsiran dan implementasi kebijakan[2] yang mendesak keberadaan hak ulayat oleh masyarakat adat.
Paska sentralisasi pemerintahan daerah di masa ORBA  atau yang kita kenal dengan era Otonomi daerah  (otoda) tidak banyak memberikan perubahan berarti bagi penguatan hak masyarakat adat atas SDA karena sentralisasi kebijakan SDA masih sentralistik dan berpangku pada pengelolaan negara dan modal besar. Walaupun era Otoda tidak signifikan untuk kebijakan PSDA oleh Masyarakat adat, setidaknya memberikan peluang bagi revitalisasi masyarakat adat dalam struktur pemerintahan daerah, yang kemudian oleh Sumatera Barat di tangkap dengan mengembalikan sistem pemerintahan nagari.
Berbagai kritik berkenaan dengan sistem bernagari (sistem pemerintahan nagari) muncul dan berkembang hari ini. Kritik tersebut secara garis besar berhubungan dengan belum mampunya sistem pemerintahan nagari mengintegrasikan sistem adat dengan sistem pemerintahan. Terlepas dari berbagai kritik tersebut, sistem bernagari hari ini sedikit banyaknya mengembalikan semangat bernagari yang telah dirusak oleh sentralisasi pemerintahan daerah di masa Orba (sistem pemerintahan desa)  dan juga memberi peluang pada penguatan hak masyarakat adat dan dinamika-dinamikanya.[3]
Dengan lahirnya Perda No. 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (TUP) memberikan suasana tersediri bagi dinamika penguatan masyarakat nagari, Perda serupa sebenarnya telah ada di daerah lain seperti Perda Kabupaten Kampar No. 12/1999 tentang Hak Tanah Ulayat dan Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Dalam konteks Perda TUP pada level provinsi membuat tingkat abstraksi Perda TUP lebih tinggi karena harus menggambarkan keberagaman struktur sosial yang ada di dalam masyarakat. Seringkali Perda tingkat provinsi di Sumatera Barat tidak bisa menggeneralisasi struktur sosial masyarakat Sumatera Barat yang beragam, terutama antara masyarakat etnis Minangkabau yang berada di daratan dengan masyarakat etnis Mentawai yang berada di kepulauan.
Dalam literatur pluralisme hukum, menurut Stradford Moores, pertemuan antara kaidah hukum adat dengan hukum nasional (Perda) dalam lokal sosial yang sama (one social field) memungkinkan empat model interaksi hukum.[4]Pertama, integrasi (integrate) yaitu penggabungan sebagian hukum negara dan hukum lokal; Kedua, inkoorporasi (incoorporate) yaitu penggabungan sebagian hukum negara ke dalam hukum adat atau sebaliknya; Ketiga, konflik (conflict) yang tidak terjadi penggabungan sama sekali mengingat hukum negara dan hukum lokal dimaksud saling bertentangan; dan Keempat, menghindar (avoidance) yaitu salah satu hukum menghindari kebelakukan hukum yang lain.
Interaksi antara hukum adat dengan hukum nasional menampilkan dua sisi, yaitu upaya mempertanahkan tradisi pada satu sisi dengan upaya-upaya mengakomodasi kepentingan-kepentingan kekinian dari luar struktur adat pada sisi lain. Sehingga merupakan suatu adaptasi sosial dan politik.[5] Masyarakat Minangkabau memiliki kecenderungan yang tinggi dalam beradaptasi dengan “dunia luar”. Filosofi adat alam takambang jadi guru mencerminkan sikap yang ingin belajar dari perkembangan yang terajadi pada dinamika sosial, politik dan ekologis yang berlangsung. Sehingga perkembangan yang terjadi “di alam” itu bisa memberikan manfaat bagi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sikap yang terbuka ini mengadirkan sejumlah tantangan yang harus dihadapi.
Lahirnya Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya menghadirkan sejumlah tantangan. Baik tantangan dari struktur hukum pertanahan nasional, kepentingan investasi dan konflik tanah ulayat yang selama ini berlangsung di Sumatera Barat. Kajian ini ditujukan untuk menyigi beberapa tantangan yang akan dihadapi dengan berlakunya Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sehingga kajian ini memiliki relevansi bagi pengambil kebijakan dan masyarakat atas tindakan-tindakan yang dapat dihadapi untuk menjaga keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat.
B. Metode Penulisan
Penelitian hukum dengan pendekatan interdisipliner (normatif sistematikal, pluralisme hukum, politik hukum, ekonomi politik). Pemaparan dilakukan secara deskriptif analitis untuk mengetahui proses pembentukan, substansi yang diatur dan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh masyarakat adat dan keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat. Bahan hukum diperoleh dengan cara penelusuran dokumen, diskusi kampung, wawancara, dan konsultasi publik.
C. Tujuan:
1.       Memaparkan proses kelahiran Perda TUP
2.      Menganalisa substansi pengaturan dengan berbagai perspektif
3.      Menganalisa kebijakan pemerintah yang terkait dengan implementasi Perda TUP
4.      Menemukan sejumlah tantangan impelementasi dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan tanah ulayat
BAB II
Jalan Panjang Menuju Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
A. Inisiatif Rancangan Perda Propinsi Sumatera Barat tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat (RPTU), 2001 -2003
Landasan penyusunan RanperdaPemanfaatan tanah ulayat (RPTU) di landasi oleh  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Selanjutnya Permenag No. 5/1999) yang merupakan aturan pelaksana pasal 3 UUPA. Seiring dengan pembahasan draft Ranperda Tanah Ulayat oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project) mengadakan penelitian di desa Tigo Jangko Kabupaten Tanah Datar yang berlangsung pada bulan februari hingga maret tahun 2000 dengan tujuan mengetahui maksud dari tanah ulayat dan melihat seberapa jauh masyarakat menginginkan pendaftaran tanah ulayatnya. Pada tanggal 24-25 Oktober 2000 lokakarya tanah ulayat yang dilaksanakan di Padang membahas hasil temuan penelitian Proyek di atas yang kemudian di respon dengan pembentukkan tim pembahasan perumusan dan sosialisasi tentang pengaturan pemanfaatan tanah ulayat masyarakat hukum adat di Propinsi Sumatera Barat oleh Pemerintah propinsi Sumatera Barat.[6]
Karena peyusunan Perda tanah ulayat di dasari oleh Permenag No. 5/1999, maka langkah-langkah yang diambil mengacu pada Permen tersebut. Oleh sebab itu, dilakukanlah penelitian untuk menguji keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat pada tahun 2001. Penelitian ini di lakukan oleh Tim[7] yang terdiri dari instansi pemerintah daerah, LKAAM dan kalangan akademisi.  Adapun Tim tersebut di bagi atas dua tim kecil, yaitu; Tim A yang di ketuai oleh; Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Barat dan Tim B yang di ketuai oleh Syahmunir, dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim menguatkan keyakinan akan kuatnya keberadaan tanah ulayat di kabupaten-kabupaten, selain itu hasil penelitian juga menemukan bahwa; pertama; tanah ulayat boleh dipindahtangankan kepada pihak lain dengan sifat semetara, kedua;pendaftaran tanah ulayat cukup untuk kepastian hak namun tidak sampai pada di sertifikatkan, ketiga; responden mengganggap penting di buatnya Perda tentang hak ulayat.
Dari hasil penelitian diatas, tim merasa mempunyai alasan untuk melanjutkan kerja penyusunan Rancangan Perda Tanah ulayat yang kemudian diiringi dengan bergabungnya Kanwil BPN Sumatera Barat yang menghasilkan Rancangan Perda Propinsi Sumatera Barat tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat (selanjutnya di sebut RPTU) di tahun 2001. Di Sumatera Barat sendiri, RPTU menuai kritikan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan masyarakat sipil, dan akademisi. Walaupun demikian Tahun 2003, Pemerintah propinsi Sumatera Barat tetap mengajukan Draft RPTU kepada DPRD Propinsi Sumatera Barat yang kemudian di ikuti dengan sosialisasi kepada seluruh pemerintah kabupaten dan kota dalam bentuk seminar, yang diikuti  juga oleh LBH Padang sebagai unsur masyarakat sipil. Paska seminar sosialisasi RPTU tahun 2003 memacu respon penolakan atas draft ini, baik itu oleh kelompok masyarakat sipil (NGO), maupun individu-individu. Kondisi ini dapat dicermati dengan beberapa kali telah terjadi penyampaian pendapat di kantor DPRD Sumbar antara lembaga-lembaga NGO dan atau perorangan dengan pihak legislatif.
B. Penolakan RPTU oleh Masyarakat Sipil di tahun 2003
Oleh Kurniawarman dan Rachmadi[8] terdapat dua alasan yang mendasari penolakan tersebut, yakni; pertama, dari aspek formal Ranperda ini mengandung cacat karena tidak dilengkapi dengan naskah akademis. Selain itu, pelibatan unsur diluar Pemda sekedar sebagai alat untuk menguatkan alasan guna mendapatkan dana bagi pembuatan Perda, kedua; dari aspek materil, materi RPTU ini di anggap berbahaya karena bukan malah melindungi dan menjamin tanah ulayat, namun hanya mengaakomodasi kepentingan pengusaha agar mudah mendapatkan tanah untuk investasi, selain itu  RPTU meneruskan dan memperdalam sektoralisme pegelolaan Sumber daya alam karea objek pengaturannya hanya tanah, tidak termasuk sumber daya alam secara keseluruhan, walaupun sebenarnya patokan RPTU dari pasal 3 UUPA dan Permenag No. 5/1999 yang tidak memisahkan ruang lingkup hak ulayat atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya.
Secara materil, yang menjadi sorotan tajam adalah pasal 11 RPTU, yang menyatakan bahwa terhadap tanah hak ulayat yang telah diganti atas haknya menurut UUPA dan apabila masanya berakhir, maka tanah tersebut menjadi tanah yang langsung di kuasai oleh negara (tanah negara). Artinya, secara normatif tidak memberikan solusi bagi tanah ulayat yang beralih menjadi salah satu hak menurut UUPA seperti HGU, pedahal selama ini konflik pertanahan berlangsung secara massif di wilayah tersebut.[9]
Untuk menyikapi ancaman yang muncul dari RPTU, maka  di bulan Februari 2003, beberapa lembaga yaitu; LBH Padang, Warsi Sumatera Barat, LP2M, ELLANS Institute, P2TANRA dan LARA Institute aktif melakukan advokasi penolakan RPTU yang kemudian diikuti dengan lembaga-lembaga lain, yaitu; Qbar, FMN, SPSB, KPI dan LAM & PK FHUA.  Kemudian untuk mencoba membangun sinergisitas kerja advokasi dalam menyikapi Rancangan Perda ini, maka dilakukanlah diskusi kritis yang di hadiri oleh NGO, akademisi, pers dan masyarakat di kantor LP2M pada tanggal 26 maret 2003. Diskusi ini merupakan titik penting bagi konsolidasi kelompok masyarakat sipil untuk mengawal advokasi RPTU. Selain membahas substansi RPTU yang menghasilkan pemahaman tentang besarnya dampak negatif implementasi Ranperda terhadap eksistensi hak ulayat, juga menghasilkan beberapa kesepakatan dalam konteks advokasi RPTU, yaitu; pertama, Adanya tim inti yang mengatur proses Advoksi Ranperda, yang beranggotakan; Syafrizaldi (KKI Warsi), Andiko (LBH Padang), Lani verayanti (LP2M), Isma rossy (ELLANS), Jomi suhendri (Qbar), Yesky (Mahasiswa) dan Taufik (P2TANRA), kedua, Tim inti akan bekerja untuk mengkampayekan RPTU kepada publik (melalui media massa dan pertemuan dengan masyarakat), melakukan analisis awal Ranperda, membangun konsolidasi dengan kelompok lain, dan merancang strategi aksi.
C. Keberadaan Pagar Alam Minangkabau (PALAM) Sumatera Barat di tahun 2003-2004.
Tim inti yang di dukung oleh beberapa NGO merupakan embrio awal dari pembentukan Pagar Alam Minangkabau (selanjutnya disebut PALAM) Sumatera Barat yang merupakan koalisi NGO, Organisasi Rakyat, dan Organisasi Mahasiswa di Sumatera Barat untuk mengawal RPTU. Melembaganya koalisi ini di bulan april 2003 merupakan bentuk kesadaran atas kebutuhan advokasi bersama masyarakat sipil dalam membangun kekuatan mengawal RPTU secara sistematis. Secara organisasi, PALAM sendiri merupakan koalisi taktis yang bekerja atas mandat anggota-anggotanya yang merupakan lembaga-lembaga untuk mengawal RPTU. Untuk memperlancar kerja koalisi, maka di bentuklah Badan Pekerja (BP PALAM) yang di pilih dari individu-individu dari lembaga-lembaga anggota yang terdiri; Andiko sebagai koordinator, Vino Oktavia, Jomi Suhendri di Sekretariat BP PALAM, Lany verayanti, Syafrizaldy di kampanye dan lobi, serta Nawir sikki, emil, taufik syafei di pemantauan. Komposisi BP PALAM kemudian berubah, seiring dengan kepindahan Andiko selaku koordinator ke IHSA di Jakarta, yang kemudian di gantikan oleh Samarathul Fuad.
Tekanan penolakan RPTU semakin gencar di lakukan oleh masyarakat, baik itu pernyataan-pernyataan tokoh di media massa maupun penolakan-penolakan masyarakat nagari. Bentuk penolakan masyarakat nagari berupa pengiriman surat penolakan kepada Pansus RPTU DPRD Sumatera Barat seperti yang dilakukan oleh Nagari selayo, Tanang, Bukik sileh di kabupaten solok dan Puncak adat saparampek Nagari kapa di kabupaten Pasaman. Tekanan-tekanan tersebut dapat menghambat pembahasan RPTU oleh Pansus RPTU DPRD Sumatera Barat, selain faktor tekanan masyarakat, faktor internal DPRD Sumatera Barat juga mempangaruhi proses pembahasan RPTU, faktor tersebut adalah; Pertama, proses hukum dugaan korupsi APBD Sumatera Barat tahun 2002 yang melibatkan sebagian besar anggota DPRD, kedua, konsolidasi interal partai politik guna persiapan pemilu 2004, ketiga, keterbatasan dana persidangan pembahasan Ranperda, dimana dana yang dialokasikan sebanyak 2 Milyar ternyata memasuki semester kedua tahun 2003 sudah hampir habis.
Pengawalan RPTU berjalan terus seiring dengan terundur-undurnya proses pembahasan Ranperda di Pansus DPRD Sumatera Barat sampai dengan penghujung tahun 2003, salah satu yang dilakukan adalah diskusi yang menghadirkan ketua Pansus RPTU, akademisi dan masyarakat di Kampus Fakultas Hukum Universitas Andalas oleh LAM&PK FHUA bersama dengan PALAM pada tanggal 29 oktober 2003. Diskusi tersebut merupakan respon untuk menangkal pengesahan RPTU, dimana dari hasil pemantauan yang dilakukan didapatkan informasi tentang rencana akan disahkannya RPTU pada bulan oktober 2003, namun kenyataannya pengunduran pembahasan Ranperda ini berlanjut sampai dengan tahun 2004.
Di pertengahan tahun 2004, pembahasan RPTU kembali diagendakan Pansus. Oleh Moestamir Makmoer (ketua pansus) menyebutkan bahwa; RPTU setuju untuk di bahas DPRD Sumatera Barat dan sudah di tandatangani bapak Arwan Kasri (selaku ketua DPRD Sumbar). Menurutnya, RPTU telah di telaah dengan para akademisi, tokoh adat dan LKAAM Sumatera barat yang pada prinsipnya tidak mempermasalahkan isi draft Ranperda, namun penolakan hanya pada pasal 11, yaitu yang berhubungan dengan putusnya hubungan hokum masyarakat adat dengan ulayatnya di tanah-tanah bekas HGU (hak-hak yang telah diberikan UUPA).[10] Menyikapi hal tersebut, PALAM Sumbar tetap pada penolakan Draft RPTU, bukan hanya pada penolakan pasal 11 Ranperda, sikap ini termanifest dari aksi yang dilakukan PALAM Sumbar pada tanggal 7 Juli 2004 di gedung DPRD Sumatera Barat.[11]
Pembahasaan RPTU terus berlanjut, namun kemudian aktifitas sidang-sidang pembahasan RPTU mengalami stagnasi karena kesibukan anggota Dewan dalam persiapan pemilu 2004. Akhirnya, di sekitar bulan Agustus 2004 oleh ketua Pansus RPTU menyatakan bahwa pembahasan dan pengesahan RPTU akan diteruskan oleh anggota DPRD Sumatera Barat periode 2004-2009.
D. Keberadaan Pagar Alam Minangkabau (PALAM) Sumatera Barat di tahun  2005- sekarang.
Setelah  tertundanya pembahasan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat oleh DPRD Propinsi Sumatera Barat periode 1999-2004, maka pada awal tahun 2005 sampai dengan 2007, tidak ada pengajuan kembali draft RPTU dari pemerintah propinsi Sumatera Barat kepada DPRD Propinsi Sumatera Barat periode 2004 -2009. Namun pada masa ini, yaitu di  akhir tahun 2005, wacana perubahan Perda propinsi Sumatera barat No.9 tahun 2000 tentang pokok-pokok pemerintahan Nagari (perda no. 9/2000) menjadi agenda pemerintah propinsi Sumatera barat untuk di bahas.[12]
Setelah pengesahan perda no.2/2007, maka upaya mengagendakan kembali RPTU oleh pemerintah propinsi sumatera barat yang tertunda sejak tahun 2001 mulai dibahas pada pertengahan tahun 2007, dengan mengajukan kembali draft RPTU. RPTU yang diajukan pada tahun 2007 terdapat perbedaan dengan draft yang diajukan di tahun 2001, yaitu pengaturan tentang tanah-tanah ulayat yang telah diganti dengan hak atas tanah oleh UUPA, setelah masanya berakhir akan kembali kepada masyarakat hukum adat, hal ini terlihat dalam pasal 11, yang menyebutkan:
1) Terhadap Tanah Ulayat yang diberi alas hak erfpacht, hak pakai atau HGU, apabila masa berlakunya sudah berakhir, maka tanah ulayat tersebut kembali kepada masyarakat hukum adat
2)     Pengaturan dan pemanfaatan selanjutnya terhadap tanah sebagaiman dimaksud ayat (1) dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) bersama dengan pemerintahan Nagari, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya sebagai mediator.
Secara keseluruhan roh pengaturan RPTU ini tidak jauh berbeda dengan RPTU yang diajukan pada inisitif awal, yaitu; secara materil ; pertama, RPTU mengatur ulayat secara sektoral yang mengatur pada soal tanah. Kedua, semangat RPTU masih pada semangat pemanfaatan yang notabene merupakan kepentingan investasi (pengelolaan oleh pemilik modal)[13], sehingga RPTU belum mampu memberikan semangat perlindungan hak ulayat, ketiga, RPTU tidak membedakan antara tanah milik adat dengan tanah ulayat.[14] Secara formil; RPTU tidak melalui mekanisme kaedah penyusunan Ranperda yang baik, yaitu belum terujinya partisipasi masyarakat, terutama masyarakat adat sebagai pemilik ulayat, selain itu RPTU tidak diiringi dengan naskah akademik.
Dengan diajukannya kembali RPTU oleh pemerintah propinsi sumatera barat kepada DPRD propinsi Sumatera barat, bagi PALAM, memancing geliat kembali untuk advokasi atas Ranperda tersebut. Di bulan agustus 2007, LBH Padang telah menuntaskan naskah akademik tentang hak ulayat sebagai upaya counter draft atas RPTU. Naskah akademik yang disusun oleh LBH Padang kemudian di diskusikan pada tingkat PALAM untuk mendukung advokasi RPTU. Pembahasan tersebut dilakukan di kantor Walhi Sumatera Barat pada tanggal 10 Agustus 2007, dalam diskusi tersebut disimpulkan bahwa; pertama, pembahasan kembali RPTU menemukan momentum baru paska pengesahan UU No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal, artinya penetrasi investasi (terutama investasi asing) atas tanah ulayat semakin besar, kedua, naskah akademis yang di susun oleh LBH Padang menawarkan pengaturan tentang pengukuhan dan perlindungan hak ulayat, hal ini sesuai dengan kebutuhan pengaturan hak ulayat di sumatera barat yang selama ternegasikan oleh kebijakan sektoral pengelolaan SDA dan distorsi-distorsi pengelolaan Ulayat (SDA), sehingga PALAM sepakat untuk memberikan masukan atas Naskah akademis tersebut dan menjadi konsep alternatif pengaturan tentang ulayat di Sumatera Barat yang akan diajukan kepada DPRD Propinsi sumatera Barat. Ketiga, menyepakati strategi advokasi RPTU baik pada tingkat konsolidasi basis, maupun pada tingkat negosiasi-negosiasi dengan DPRD Propinsi Sumatera Barat dan kerja-kerja kampanye.
Pengajuan naskah akademis dan draft tandingan terhadap RPTU kepada Pansus RPTU DPRD Propinsi Sumatera Barat oleh PALAM dilakukan pada bulan februari tahun 2008, adapun Draft tandingan tersebut menawarkan pengaturan tentang hak ulayat yaitu; pertama, yang bersifat holistik integral, kedua, Ranperda tersebut bertujuan untuk mengukuhkan dan melindungi hak ulayat masyarakat adat di Sumatera Barat, dan ketiga, mekanisme penyelesaian sengketa hak ulayat, dimana selain menggunakan mekanisme adat untuk sengketa internal dalam hal sengketa eksternal Ranperda memerintahkan negosiasi ulang hak ulayat yang berkonflik dengan pihak ke tiga.
Kenyataannya Perda TUP yang dilahirkan oleh DPRD Propinsi Sumatera Barat dengan materi yang tidak banyak berubah dengan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat. Dalam bab berikut akan di bahas subsatnsi Perda TUP;
BAB III
Telaah terhadap Substansi Pengaturan
Perda TUP mewarisi sektoralisasi sumberdaya alam yang dibangun oleh perundang-undangan di tingkat nasional. Fokus pengaturan terhadap tanah saja sudah terlihat dari dasar hukum dan sejumlah ketentuan pada batang tubuh yang tunduk pada konstruksi hukum pertanahan nasional. Sektoralisasi ini mempersempit objek ulayat yang bagi masyarakat Minangkabau mencakup sumberdaya alam lainnya seperti sungai, danau, laut, ruang angkasa, hutan dan pertambangan.
Tabel Jenis-jenis Tanah Ulayat
No
Jenis Hak Ulayat
Sifat
Status Pendaftaran
Pengemban/
Pemilik
Pengurusan
1
Tanah Ulayat NagariPenguasaan/ PublikHGU, Hak Pakai, Hak PengelolaanSecara adat dimiliki oleh anak nagariPengurusan oleh Ninik mamak KAN. Pengaturan pemanfaatan oleh Pemerintah Nagari
2
Tanah Ulayat SukuKepemilikan/perdataHak MilikMilik kolektif anggota suatu sukuPengaturan dan pemanfaatan oleh penghulu-penghulu suku
3
Tanah Ulayat KaumKepemilikan/perdataHak MilikMilik kolektif anggota suatu kaum.Pengaturan dan pemanfaatan oleh mamak jurai/ mamak kepala waris.
4
Tanah Ulayat RajoKepemilikan/perdataHak Pakai dan Hak KelolaLaki-laki tertua dari garis keturunan ibuLaki-laki tertua dari garis keturunan ibu
Tabel diatas merumuskan bahwa tanah ulayat nagari memilik aspek publik yang penguasaan dan pengurusannnya dilakukan oleh ninik mamak KAN. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum merupakan hak milik kolektif anggota suatu suku atau kaum. Sedangkan tanah ulayat rajo merupakan tanah ulayat yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari dari garis keturunan ibu yang masih hidup dibeberapa tempat di Sumatera Barat.
Ada beberapa keraguan terhadap eksistensi tanah ulayat rajo. Hal ini karena masyarakat Minangkabau tidak mengenal keberadaan raja. Hasil Penelitian Tim Penyusunan Draf Ranperda Tanah Ulayat yang dibentuk Pemda Sumbar pada tahun 2001 menyatakan bahwa tanah ulayat rajo hampir sudah tidak dikenal lagi, kalaupun ada dapat digolongkan ke dalam kelompok tanah ulayat nagari. Dahulunya tanah ulayat rajo terdapat di daerah rantau, seperti di Pasaman dan Sawahlunto Sijunjung.
Antara tanah ulayat kaum, tanah ulayat suku dan tanah ulayat nagari memiliki hubungan berjenjang dan pencadangan. Bila tanah ulayat suatu kaum habis, maka tanah ulayatnya menjadi tanah ulayat suku. Bila suatu tanah ulayat suku habis maka tanah ulayatnya beralih menjadi tanah ulayat nagari. Sehingga tanah ulayat tidak akan habis. Hal ini sesuai dengan pepatah yang menyatakan bahwa tanah ulayat itu bersifat samporono habis.
Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan (BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan. Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai dan Hak Kelola.
Soal pendaftaran tanah ulayat di Sumatera Barat sudah menjadi kontorversi diberbagai kalangan. Ada dua pandangan utama, yaitu pihak yang menganggap hak ulayat sebagai hak yang mandiri dan dipihak lain terdapat anggapan bahwa tanah ulayat perlu mendapat kepastian hukum dari hukum nasional.
Dalam pandangan ekonomi politik yang anti-neoliberalisme, sertifikasi tanah dianggap sebagai prasyarat terciptanya pasar tanah yang didorong oleh lembaga-lembaga internasional. Sedangkan dalam pandangan pluralisme hukum, sertifikasi tanah ulayat menampilkan inkoorporasi antara hukum adat dengan hukum nasional. Namun inkoorporasi itu merupakan penguatan dari sentralisme hukum negara yang mengakomodasi hukum adat untuk mengatasi situasi yang problematis.
Ada beberapa konsekuensi bila tanah ulayat didaftarkan dengan status tanah menurut UUPA. Bila tanah nagari didaftarkan dengan status HGU dan Hak Pakai, maka akan menimbulkan konsekuensi, antara lain: (a) tanah yang diberikan HGU adalah tanah negara, sedangkan Hak Pakai dapat dari tanah negara, tanah milik maupun tanah Hak Penegelolaan; (b) soal batas waktu hak yang dapat diperpanjang dan dapat habis; pembayaran sejumlah uang dari pemanfaatan tanah ulayat; (c) laporan tertulis setiap akhir tahun; (d) tanah ulayat dapat dijadikan penjamin hutang; (e) dan dapat dialihkan melalui juga dapat dialihkan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan  pewarisan. Demikian pula bila tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status Hak Pakai.
Sedangkan pendaftaran tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum menjadi hak milik menguatkan status “kepemilikan” tanah secara komunal. Tetapi seringkali persoalan kuatnya kepemilikan tanah secara komunal, atas nama penghulu danMamak Kepala Waris dimanfaatkan bagi kepentingan individu oknum penguasa adat. Praktik ini dicemaskan sebagai suatu upaya individualisasi hak komunal dibawah otoritas penghulu atau mamak kepala waris. Kekhawatiran ini cukup berasalan sebab hukum nasional yang berwatak positivisme hukum mengutamakan hubungan hukum individu dalam banyak sektor. Hubungan hukum oleh masyarakat adat dengan pihak lain belum berkembang pesat dalam pengaturan hukum nasional.
Prinsip utama pemanfaatan tanah ulayat di Minangkabau sebagaimana diadopsi menjadi asas utama pembentukan Perda TUP adalah “jua indak makan bali, gadai indak makan sando” yang maksudnya bahwa tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat dipindahtangankan pada orang lain. Tetapi masyarakat boleh memanfaatkannya, mengelola, mengolah dan menikmati hasil dari tanah ulayat yang kepemilikannya tetap menjadi milik komunal dan tidak dapat dijadikan milik pribadi. Filosofi ini menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat Minangkabau dengan tanah ulayat bersifat abadi.
Pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan anggota masyarakat adat dilakukan berdasarkan hukum adat. Pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan umum dilakukan “sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, Perda TUP tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan “sesuai dengan ketentuan yang berlaku” itu didasarkan kepada hukum adat atau kepada hukum nasional. Bila mengacu kepada hukum nasional maka akan merujuk kepada Perpres 36/2005 junctoPerpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum. Perpres ini sejak kelahirannya banyak dikritik oleh kalangan masyarakat sipil sebab dianggap sebagai landasan legitimasi perampasan tanah masyarakat.
Pemanfaatan tanah ulayat bersama atau oleh pihak luar (pemerintah atau investor) bila berakhir masa perjanjiannya akan kembali kepada masyarakat adat sesuai dengan adagium “Kabau tagak kubangan tingga, pusako pulang ka nan punyo, nan tabao sado luluak nan lakek di badan. Tanah ulayat tetap menjadi milik dari masyarakat adat. Yang dibawa oleh pengusaha adalah hasil-hasil usaha yang diperoleh dari mengelola tanah ulayat. Setelah usaha selesai maka tanah dikembalikan kepada masyarakat adat.
Persoalan pengembalian tanah ulayat kepada masyarakat adat setelah perjanjian kerjasama dengan pihak luar ini merupakan salah satu tema utama yang ditolak dalam pembahasan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat tahun 2002-2003. Alasan utama penolakan kalangan masyarakat terkait dengan Pasal 11 ayat (1) Ranperda tersebut yang menyatakan: “Terhadap tanah bekas hak ulayat yang telah diganti alas haknya menurut UUPA, dan apabila masanya berakhir, maka tanah dimaksud menjadi tanah yang langsung dikuasai negara”. Rumusan demikian menghilangkan status dan keberadaan tanah ulayat dan pengusaan masyarakat adat terhadap sumberdaya alamnya.
Rumusan Pasal 11 ayat (1) Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat yang ditolak oleh kalangan masyarakat tersebut dihidupkan kembali dalam Perda TUP. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Perda TUP yang berbunyi: Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula.” Meskipun tidak secara tegas menyatakan bahwa setelah pemanfaatan tanah ulayat dengan pihak penguasaha selesai, tanah ulayat menjadi tanah negara, tetapi penggunaan frasa “kembali ke bentuk semula” yang masih memberikan penafsiran jamak. Misalkan terhadap tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai HGU, Hak Pakai atau Hak Pengelolaan, apakah setelah perjanjian dengan investor berakhir, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai oleh KAN? Atau akan menjadi HGU, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yang dikuasai langsung oleh Pemerintah.
BAB IV
Tantangan Implementasi Perda Tanah Ulayat
1) Menyigi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Propinsi Sumatera Barat tahun 2006-2010
Rencana pembangunan Jangka Menengah (RPJM) propinsi Sumatera barat tahun 2006-2010 (kemudian disebut RPJMN 2006-2010) merupakan dokumen legal yang di formalkan melalui Peraturan Daerah No. 4 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Propinsi Sumatera barat tahun 2006-2010. Dokumen ini merupakan instrumen strategis perencanaan arah pembangunan daerah propinsi kedepan. Sebagai dokumen perencanaan, RPJM tidak bisa terlepas dari kaedah umum perencananaan dalam instrument pemerintahan.[15] Perencanaan sendiri merupakan penjabaran lebih lanjut dari tujuan Negara yang multi dimensional.[16] Rencana merupakan alat bagi implementasi tujuan negara dan implementasi seyogyanya berdasarkan rencana. Tidak bisa dibayangkan akibatnya apabila melaksanakan tujuan bernegara tanpa ada rencana yang matang. Dalam hokum administrasi Negara, rencana merupakan bagian dari tindakan hukum pemerintahan, yaitu; suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hokum. Meskipun demikian, tidak semua rencana memiliki akibat hokum langsung bagi warga Negara.[17]
Dengan maksud dan tujuan RPJM 2006-2010 sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 5 Ayat (3) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 150 yang mengamanatkan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai penjabaran visi, misi dan program Kepala Daerah dan kemudian di implementasikan dalam; pertama, pedoman dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten/Kota, kedua, pedoman penyusunan Rencana Strategis (RENSTRA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), ketiga, pedoman penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota, maka RPJM 2006-2010 berperan strategis bagi pembangunan daerah dan juga mempunyai implikasi terhadap hak ulayat. Hal ini bisa dilihat dari arah  program pembangunan ekonomi dalam RPJM 2006 -2010 pada pembangunan ekonomi berbasis pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ditunjang dengan pembangunan Sumber Daya manusia.
Dalam RPJM 2006-2010 disebutkan bahwa program pembangunan daerah terutama pembangunan ekonomi berdasarkan pada pembangunan berkelanjutan, yang menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut;  (1) untuk kesejahteraan rakyat yang merata dan berkeadilan, (2)  berdasarkan kemampuan daya dukung SDA, lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK. (3) berdasarkan prinsip kemitraan antara Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi dengan swasta dan pemerintah. (4) menerapkan prinsip efisiensi dan keunggulan komparatif dan kompetitif dari produk andalan tertentu dengan mengakomodasi kemajuan teknologi. (5) berdasarkan keterbukaan ekonomi sesuai dengan perkembangan ekonomi global (6) menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga dapat memacu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. (7) pencepatan pembangunan infrastruktur uintuk memperlancar, mempercepat mobilitas orang dan barang.
Dari prinsip-prinsip diatas terlihat bahwa  pembangunan ekonomi sumatera barat diprioritaskan pada pengelolaan SDA dengan pola keterbukaan ekonomi atau integrasi pada ekonomi global, dengan membuka  akses investasi modal asing dan atau modal domestik untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan prinsip-prinsip kemerataan ekonomi, kemitraan dan lingkungan hidup. Untuk itu, maka kedepan pembangunan ekonomi sumatera barat akan mempersiapkan beberapa hal  berupa pembangunan infrastruktur yang memadai dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Karakteristik arah pembangunan ekonomi Sumatera Barat memang merupakan kondisi riil pembangunan ekonomi nasional hari ini. Sebagai gambaran singkat, menurut perhitungan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)  pada tahun 2006, untuk mencapai tingkat pertumbuhan 6,1 % tahun 2006 diperlukan total investasi sekitar Rp. 652,9 triliun. Dari total kebutuhan investasi tersebut hanya sejumlah Rp. 101,6 triliun yang dapat disediakan dari anggaran pemerintah, selebihnya sekitar Rp. 551,3 triliun diharapkan dari invesatsi swasta (domestic maupun asing).[18]Artinya topangan pertumbuhan ekonomi nasional berada pada modal swasta.
Tentunya, kondisi diatas juga berlaku pada konteks sumatera barat.  Keterbatasan anggaran pembangunan pemerintah (pemerintah propinsi sumatera barat) sebenarnya dijabarkan dalam RPJM 2006-2010 yang menyebutkan bahwa keterbatasan dana pembangunan diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1998 yang mengakibatkan penurunan Pendapatan asli daerah (PAD) dari Rp. 64,3 milyar pada tahun anggaran 1997/1998 menjadi hanya Rp. 44,0 milyar pada Tahun 1998/1999, dimana Penurunan yang sangat besar terjadi pada penerimaan retribusi daerah dan pajak daerah. Walaupun sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang terjadi tren kenaikan PAD, namun tetap saja RPJM 2006-2010 memandang bahwa; dana pemerintah dalam pembangunan daerah mempunyai keterbatas, sehingga harus diisi dengan dana investasi nasional, maupun asing.[19]
2) Kemungkinan FPIC
Salah satu mekanisme yang berkembang dalam upaya penguatan hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya adalah mekanisme Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (Free and Prior Informed Consent/FPIC). Keberadaan mekanisme ini bila dikaitkan dengan doktrin tanggungjawab negara dalam pemenuhan hak asasi manusia maka ia meliputi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), pemenuhan (to fullfill) hak masyarakat adat terhadap sumberdaya alamnya terhadap setiap tindakan yang dilakukan pihak luar terhadap masyarakat adat.
Free and Prior Informed Consent (selanjutnya disingkat FPIC) semula digunakan untuk melindungi kepentingan pasien di rumah sakit yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan yang akan dilaluinya secara pribadi (sebagai perlindungan hak individual pasien). Kemudian konsep ini diadopsi oleh sejumlah ketentuan hukum Hak Asasi Manusia internasional dan lembaga internasional multipihak. Dalam konsep FPIC terdapat empat unsur penting yang berlaku secara kumulatif. Keempat prinsip itu dapat diartikan sebagai berikut:[20]
Free : berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan masyarakat.
Prior : artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerntah, terlebih dahulu harus mendapat ijin dari masyarakat.
Informed : artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya
Consent : artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri
Konsep FPIC, sebenarnya, bukanlah konsep asing pada masyarakat pedesaan di Indonesia. Sejak lama, konsep ini mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat pedesaan di Indonesia (Mac Kay dan Colchester, 2004). Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, klausula ini memberi jaminan bahwa masyarakat yang terkena dampak harus dimintakan persetujuannya tanpa paksa sebelum ijin kegiatan diberikan pemerintah. Negosiasi mendapat persetujuan itu harus didahului dengan pemberian informasi yang menyingkap keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum atas suatu kegiatan tertentu (Sirait, Widjarjo dan Colchester, 2003).[21]
Pengadopsian mekanisme FPIC semakin gencar dalam sejumlah instrumen hukum dan standarisasi yang dibangun oleh lembaga multipihak. Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People) yang disahkan tahun 2006 mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan FPIC, diantaranya sebagai berikut:
Pasal 18 berbunyi:
Masyarakat adat berhak untuk mengambil bagian dalam pengembilan keputusan tentang hal-hal yang akan berpengaruh terhadap hak-hak mereka, lewat wakil-wakil yang mereka pilih sendiri sesuai dengan cara dan prosedur pemilihan mereka, dan juga untuk memelihara dan mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka sendiri.
Selanjutnya Pasal 19 berbuyi:
Negara patut berkonsultasi dan bekerjasama dengan niat baik yang saling mempercayai dengan masyarakat adat terkait lewat lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan yang bebas, mendahului tindakan, setelah ada informasi yang jelas kepada mereka untuk mendapatkan persetujuan sebelum mengadopsi dan menerapkan tindakan-tindakan legislatif atau administratif yang dapat berdampak terhadap mereka.
Perundang-undangan di Indonesia belum banyak yang mengadopsi mekanisme ini. Baru UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mencoba mengadopsi beberapa konsep FPIC dalam ketentuan tentang hak-hak masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa ketentuan dalam Pasal 60 UU tersebut menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk:
  1. Memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;
  2. Memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  3. Melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  4. Memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  5. Memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  6. Mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  7. Menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
  8. Melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
  9. Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta
  10. Memperoleh ganti kerugian.
Disamping dalam peraturan perundang-undangan, penerapan FPIC juga didorong oleh lembaga-lembaga multipihak dalam sektor hutan dan perkebunan. Pada sektor kehutanan misalnya terdapat Forest Stewart Council (FSC) yang memberikan sertifikasi terhadap perusahan kayu yang memenuhi beberapa standar yang mereka buat. Beberapa prinsip dan kriteria FSC mensyaratkan operasi penebangan kayu dengan beberapa ketentuan diantaranya: menghormati hukum adat dan hak atas tanah; memastikan kewenangan masyarakat lokal atas pengelolaan tanah; penguasaan atas tanah dapat didelegasikan kepada pihak lain apabila ada persetujuan tanpa paksa dari masyarakat; memastikan adanya mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan konflik; melindungi tempat-tempat yang memiliki nilai-nilai secara sosial, kultural dan ekonomi; memberikan kompensasi kepada masyarakat adat atas pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka; dan menghormati hak-hak pekerja sesuai dengan standar Organisasi Buruh Internasional (ILO).[22]
Pada sektor perkebunan kelapa sawit terdapat lembaga internasional multipihak yang mendorong pengelolaan kelapa sawit yang ramah persoalan sosial dan lingkungan dengan membangun sejumlah standar-standar yang harus dipenuhi oleh perusahaan kelapa sawit. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mendorong pelaksanaan FPIC serta pengakuan terhadap hak-hak adat sebagai standar-standar yang dibangunnya. Hal itu antara lain:[23]
  1. Penghormatan terhadap hukum, termasuk hukum internasional yang sudah diratifikasi serta penghormatan terhadap hukum adat;
  2. Tidak mengurangi atau menghilangkan hak adat tanpa adanya persetujuan bebas, didahulukan dengan diinformasikan (FPIC);
  3. Sistem untuk resolusi konflik diterima dan didokumentasi serta kesepakatan berdasarkan FPIC dapat dicapai;
  4. Tidak boleh ada penanaman baru pada lahan masyarakat adat kecuali telah mendapatkan FPIC;
  5. Adanya kompensasi yang adil untuk masyarakat adat dan komunitas lokal terhadap setiap pengambilan lahan dan pengambilan hak sesuai dengan FPIC dan kesepakatan.
FPIC tidak hanya diperlukan bagi pelaksanaan program-program pemerintah terhadap tanah ulayat, tetapi juga termasuk rencana investasi terhadap tanah ulayat masyarakat adat. pengadopsian konsep FPIC memiliki beberapa hal penting diantara: (a) untuk mencegah konflik antar masyarakat adat dengan pihak lain; (b) merupakan wujud penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya; dan (c) Menjaga keberlanjutan lingkungan sebab keberadaan masyarakat yang berada pada kawasan sumberdaya alam merupakan aspek terpenting kelangsungan dan pelestarian sumberadaya alam, sehingga masyarakat perlu diutamakan.
Melihat rumusan di dalam Perda TUP, terutama pada bagian pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan pihak lain, seperti kepentingan pembangunan dan investasi, terlihat bahwa rumusan yang diatur belum mencerminkan penerapan konsep FPIC. Ketentuan Pasal 9 sampai Pasal 11 Perda TUP yang menjadi landasan dari sisi hukum negara dalam pemanfaatan tanah ulayat memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:
  1. Belum memasukkan pentingnya informasi yang berimbang tentang dampak-dampak yang akan didapat masyarakat akibat suatu program pembangunan dan investasi.
  2. Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dilakukan dengan penyerahan tanah kepada instansi yang memerlukan. Tidak diatur bahwa masyarakat dapat menolak pelaksanaan program kepentingam umum versi pemerintah bila senyatanya program tersebut bukan merupakan hal yang penting bagi masyarakat.
  3. Tidak diatur bahwa masyarakat bebas memberikan keputusan terhadap program pembangunan dan investasi yang dilakukan terhadap tanah ulayat.
  4. Tidak ditegaskan bahwa masyarakat dapat memperoleh sejumlah ganti rugi atas penggunaan lahan yang tidak menguntungkan masyarakat.
  5. Tidak dirumuskan pengarusutamaan masyarakat dalam pemanfaatan tanah ulayat, misalkan dengan mensyaratkan pola pembangunan ekonomi nagari yang dapat dilakukan lewat badan usaha nagari atau bentuk lain.
Memasukkan FPIC dalam peraturan hukum nasional maupun daerah merupakan salah satu kunci penting untuk tetap memproteksi masyarakat adat atas suatu ancaman yang datang dari pihak lain. Konsep-konsep ini perlu dikembangkan berdasarkan mekanisme yang hidup di dalam masyarakat Minangkabau supaya nantinya dalam implementasi Perda TUP dapat menjadi alat argumentasi dan senjata negosiasi. Oleh karena itu, penting mengawal SK Gubernur maupun Perda Kabupaten/Kota sebagai tindak lanjut Perda TUP memasukkan klausula-klausula FPIC.
Pada tanah awal, penerapan konsep FPIC bisa diterapkan dalam program sertifikasi tanah ulayat. Hal ini dapat dilakukan dengan menginformasikan konsekuensi yang diterima masyarakat dalam sertifikasi tanah ulayat dan kemudian memberikan kebebasan terhadap masyarakat adat untuk memutuskan apakah akan melakukan sertifikasi atau tidak. Bila masyarakat tidak sepakat dengan model sertifikasi yang cenderung mengarah kepada model pasar tanah, maka pemerintah maupun pemerintah daerah ddituntut untuk membangun mekanisme baru pengakuan keberadaan tanah ulayat, misalkan di luar bentuk sertifikat.
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
1.       Jenis-jenis tanah ulayat tediri dari (a) Tanah ulayat Nagari yang penguasanya berada pada Kerapatan Adat Nagari dan pengaturan pemanfaatannya berada pada Pemerintah Nagari; (b) Tanah Ulayat Suku, merupakan milik kolektif seluruh anggota suku yang penguasaan dan pemanfaatannya diputuskan oleh penghulu-penghulu suku; (c) Tanah Ulayat Kaum, merupakan tanah milik seluruh anggota kaum yang penguasaan dan pemanfaatannya diputuskan oleh ninik mamak jurai/mamak kepala waris; (d) Tanah Ulayat Rajo,  merupakan  hak milik atas sebidang tanah berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Sumatera Barat.
2.      Mekanisme pemanfaatan tanah ulayat terbagai terdiri dari:
  1. Hukum adat bagi masyarakat adat yang di nagari.
  2. Penyerahan hak masyarakat adat (hak ulayat) untuk kepentingan umum.
  3. Perjanjian penyerahan hak untuk investasi (investor).
  4. Perjanjian penggunaan tanah badan hukum swasta dengan penguasa hak ulayat.
3.      Perda TUP mewarisi sektoralisasi yang dibangun oleh perundang-undangan pada tingkat nasional. Sektoralisasi tersebut bertentangan dengan konsep hak ulayat masyarakat Minangkabau yang memandang tanah dan sumberdaya yang ada didalam dan diatasnya sebagai satu kesatuan.
4.      Perda ini belum bisa memberikan jaminan perlindungan terhadap keberadaan hak ulayat di Sumatera Barat
B. Rekomendasi
1.       Membentuk Tim Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat/Agraria di Sumatera Barat yang salah satu kewenangannya adalah untuk melakukan identifikasi dan invenstarisasi tanah ulayat. Pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria juga merupakan rekomndasi dari RPJM Sumatera Barat 2005-2010 dalam Program Pengelolaan Pertanahan. Di dalam RPJM juga direkomendasikan pembentukan forum lintas pelaku penyelesaian sengketa tanah. Sehinga tuntutan pembentukan Tim Penyelesaian Konflik tersebut harus terdiri dari multipihak.
2.      Peraturan pelaksana dari Perda TUP, baik melalui Peraturan Gubernur maupun Perda Tanah Ulayat di Kabupaten kota memasukkan nilai-nilai dasar dari FPIC.
3.      Dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat, maka Pemerintah Daerah harus memiliki peranan untuk memfasilitasi penyelesaian konflik horizontal yang terjadi antar nagari berkaitan dengan penentuan tapal batas. Membuat mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pengelolaan tanah ulayat antara masyarakat adat dengan investor dan instansi pemerintah. Menghidupkan kembali Peradilan Adat ditingkat Nagari untuk memperkuat resolusi sengketa internal yang substansi dan struktur kelembagaannya sesuai dengan aturan adat yang dikukuhkan melalui Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Daftar Pustaka
Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdfpada tanggal 1 September 2008.
Bernadinus Steny, (2005). Free and Prior Informed Consent dan Pergulatan Hukum Lokal, Seri Pengembangan Wacana, HuMa, Jakarta.
Bonnie Setiawan, (2006). Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5
Budi Harsono, (2003). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta.
Herman Soesangobeng, (2000). Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang, 23-24 Oktober 2000.
John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner, HuMa, Jakarta.
Kurniawarman, (2006). Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik, Andalas University Press, Padang.
Marcus Colchester dkk, (2006). Tanah Yang Dijanjikan, Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia: Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat, Forest People Program, Perkumpulan Sawit Watch, HuMa, dan World Agroforestry Center, Jakarta.
Nurul Firmansyah dkk, (2007). Dinamika Hutan Nagari Di Tengah Jaring-jaring Hukum Negara, HuMa dan Perkumpulan QBAR, Jakarta.
Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.
P. Agung Pambudhi, (2006). Peraturan Daerah dan Hambatan Investasi, Jurnal Jentera, Edisi 14. Tahun IV, PSHK, Jakarta.
Rikardo Simarmata, (2007). Pengakuan Hukum Masyarakat Adat Di Indonesia,UNDP, Jakarta.
Tim HuMa (edt), (2005). Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisiplin,HuMa, Jakarta
Tim Peneliti Penyusunan Draft Ranperda Tanah Ulayat, (2001). Eksistensi Tanah Ulayat Dewasa Ini Di Sumatera Barat, Laporan Hasil Penelitian, Padang.
Undri, (2004). Kepemilikan Tanah Di Sumatera Barat Tahun 50-an: Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet Di Kabupaten Pasaman,Makalah yang dipersiapkan untuk Worskop on the economic Side Of Decolonosatioan. Jonintly Organized by LIPI, Nederland Instituts Voor or logdocumentatie (NIOD), Pusat studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada dan Program Studi Sejarah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 18-19 Agustus 2004. diunduh dari: http://www.indie-indonesie.nl/content/documents/papers-economic%20side/Makalah-Undri.pdf tanggal 1 September 2008.
Van Dijk, (2006). Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

[1] Pasal 26 ayat (3) Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat adat secara tegas menyebutkan: Negara patut memberikan pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah, wilayah dan sumberdaya masyrakat adat. Pengakuan seperti ini akan dilakukan dengan menghargai adat, tradisi dan sistem pemanfaatan tanah dari masyarakat adat terkait.
[2] Oleh Palam Sumbar; bentuk-bentuk Distorsi Penafsiran dan implementasi kebijakan PSDA yang merugikan hak ulayat adalah; kegagalan kebijakan redistribusi tanah, sertifikasi, penetapan sepihak kawasan hutan dan lain-lain.
[3] Secara gamblang Perda No.9 tahun 2000 yang kemudian di rubah dengan Perda no.2 tahun 2007 menyebutkan tentang asset nagari yang salah satunya adalah ulayat nagari.
[4] Stradford W. Moores dan Gordon R. Woordman, 1987,  Indigeneous Law and State, Dordrecht Holland: Foris Publications.Dalam Ade Saptomo, Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 210. Diunduh dari:http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008
[5] Tingkat adaptasi dengan ajaran Islam sampai hari ini masih melekat dengan adagium adat basandi syara, syara basandi kitabullahAdat mamakai, syaramangato. Filosofi tersebut mempertemukan antara ajaran adat dengan ajaran Islam dan menjadi suatu identitas dari suku minangkabau.
[6] Secara formil, Tim di bentuk dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 593-414-2000, tertanggal 18 November 2000.
[7] Secara formil, tim ini di bentuk dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 593/524/Tapum-2001, tertanggal 18 mei 2001.
[8] Kurniawarman, Rachmadi, Hak ulayat Nagari atas Tanah di Sumatera Barat (jejak dan agenda untuk era desentralisasi), Yayasan Kemala, WRI dan Qbar, Jakarta, 2005.
[9] ibid
[10] Padang Ekspress dan Haluan, 24 Juni dan 1 Juli 2004.
[11] Padang Ekspress, 8 Juli 2004.
[12] Selain aktif pada advokasi terhadap Perda Nagari, palam juga aktif pada advokasi Perpres No. 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
[13] Lihat BAB VI tentang; pemanfaatan dan penggunaan tanah ulayat, pasal 5,6 dan pasal 7, selain itu pengaturan tentang pendaftaraan tanah memperkuat upaya sertifikasi ulayat sehingga mempermudah arus modal terhadap tanah ulayat melalui hubungan hukum (pembebasan tanah)
[14] Dalam analisis Kurniawarman, SH, MH  (dalam sebuah makalah yang berjudul kontroversi tanah ulayat Sumatera Barat) bahwa; Ranperda ini tidak membedakan antara tanah milik adat dengan tanah ulayat. Padahal dalam sistem penguasaan tanah menurut hukum adat tidak saja mengenal tanah ulayat tetapi juga tanah milik adat, baik yang bersifat individual maupun yang masih bersifat komunal. Hak ulayat merupakan hak tertinggi dan sebagai sumber dari semua jenis hak atas tanah yang ada dalam masyaraat hukum adat. Bagi masyarakat yang tidak punya tanah tetapi sangat berkeinginan untuk mengolah maka persekutuan harus membuka akses bagi yang bersangkutan untuk mendapatkan tanah olahan untuk mendukung kehidupannya. Bagi mereka yang terbukti sangat menggantungkan hidupnya kepada tanah tersebut dan mempunyai itikad baik untuk mengolah dengan sungguh, kepada mereka dapat diberikan hak yang bersifat individual.
[15] Instrumen pemerintahan sendiri menurut Wicipto Setiadi merupakan bagian dari instrumen penyelenggaraan negara secara umum (pemerintahan dalam arti luas). Pada dasarnya, pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara di Negara Indonesia paling tidak dilakukan oleh 3 lembaga (organ), yaitu eksekutif (pemerintah), legislatif, dan yudikatif. Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan negara, masing-masing organ negara tersebut diberikan kewenangan untuk mengeluarkan “instrumen hukumnya”.  Pemerintah sebagai salah satu organ Negara diberikan tugas untuk mengurus berbagai segi kehidupan masyarakat.
[16] Wicipto Setiadi, Instrumen Pemerintahanwww.legalitas.org.
[17] Ibid.
[18] P. Agung Pambudhi, Peraturan Daerah dan Hambatan Invesatsi, Jentera Jurnal Hukum, PSHK, edisi Oktober-Desember 2006.
[19] RPJM Propinsi Sumatera Barat tahun 2006-2010, hal. 121.
[20] Bernadinus Steny, Free and Prior Informed Consent Dalam Pergulatan Hukum Lokal, Seri Pengembangan Wacana, No. 5 Oktober 2005, HuMa, Jakarta. Hlm 6
[21] Ibid
[22] Lihat Marcus Colchester, dkk, (2006). Tanah Yang Dijanjikan, Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia: Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat, Forest People Program, Perkumpulan Sawit Watch, HuMa, dan World Agroforestry Center, Jakarta. Hal 40
[23] Ibid. Hal 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar