Selasa, 03 Februari 2015

Udang-Undang Minangkabau Dalam Perspektif Ulama Sufi

Oleh Suryadi
suryadi-photo-buku-zuriati-undang2-minangkabau1Zuriati, Udang-Undang Minangkabau Dalam Perspektif Ulama Sufi.Padang: Andalas University Press, 2007, xvi + 320 hlm., ISBN 9791587639
Buku ini semula adalah tesis S2 Zuriati yang dipertahankan di Universitas Indonesia tahun 2003. Naskah yang dibahas dalam buku ini adalah Undang-Undang Minangkabau. Pelacakan kepustakaan yang dilakukan Zuriati menunjukkan bahwa Undang-Undang Minangkabau ternyata memiliki salinan yang relatif banyak, sebuah petunjuk tentang tingginya resepsi aktif dan pentingnya teks ini bagi masyarakat Minangkabau di masa lalu.
Di Staatsbibliothek Preu?isher Kulturbezits Berlin, Jerman, terdapat 6 salinan naskahnya; di Inggris terdapat 7 salinan (1 salinan di John Ryland University Library, 4 salinan di Perpustakaan Royal Asiatic Society, dan 2 salinan di School of Oriental and African Studies (SOAS)); di Belanda tersimpan 49 salinan (6 salinan di KITLV Leiden dan 43 salinan di Universiteitsbibliotheek Leiden); satu salinan tersimpan di Perpustakaan Negara Malaysia, Kuala Lumpur, yaitu MSS 1584, UMM (258 hlm.), yang telah disunting dan dialihaksarakan oleh Umar Junus dalam Udang-Undang Minangkabau: Wacana Intelektual dan Warna Ideologi (Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1997), dan terakhir; 21 salinan tersimpan di Perpustakaan Negara Republik Indonesia (PNRI) di Jakarta.
Perbandingan yang dilakukan Zuriati dengan melihat jumlah halaman seluruh salinan Undang-Udang Minangkabau itu membawanya kepada kesimpulan bahwa penyalinan teks ini sangat terbuka. Berdasarkan alasan itu ia hanya meneliti secara rinci 21 salinan yang tersimpan di PNRI saja (hlm.13-65) dan mengidentifikasi variasi antara masing-masing salinan tersebut serta menyusun silsilah teksnya (hlm.66-105).
Undang-Undang Minangkabau adalah salah satu naskah Minangkabau yang berisi aturan-aturan adat, hukum, lembaga adat dan lembaga hukum, dan manusia sebagai makhluk Tuhan, baik sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai pemimpin. Semua aturan itu disusun dalam kerangka hukum Islam (syarak), meliputi syariat, fikih, dan tasawuf. Naskah ini ditulis dan atau di disalin oleh ulama (sufi) dan kaum adat. Dalam penyalinan atau menurunannya, teks Undang-Undang Minangkabau ini memperlihatkan tradisi yang sangat terbuka.
Naskah Undang-Undang Minangkabau diperkirakan lahir dari situasi sosial budaya yang perilaku masyarakat dan sifat adatnya banyak bertentangan dengan hukum Islam (syarak). Dalam situasi yang demikian itu, teks ini ditulis dan disalin dengan tujuan untuk membentuk manusia (masyarakat) Minangkabau agar menjadi manusia yang termasuk ke dalam golongan umat Islam yang hakiki, yang mempunyai ilmu lahir (fikih) dan ilmu batin (tasawuf). Keduanya, fikih dan tasawuf, merupakan jiwa dari teks Undang-Undang Minangkabau. Teks ini merupakan hasil usaha ulama Minangkabau semasa dalam menjadikan hukum Islam sebagai hukum adat. Akan tetapi, dalam perjalanan hukum adat yang dipengaruhi oleh hukum Islam itu, masih terlihat sikap yang mendua.
Teks Undang-Undang Minangkabau jelas merupakan produk dari pertemuan antara adat dan Islam di Minangkabau. Dalam Bab III (hlm.106-30) penulis menguraikan dinamika hukum adat di bawah pengaruh hukum Islam di Minangkabau dan dalam Bab IV (hlm.131-56) dibahas pengaruh tasawuf dalam teks ini. Namun tampaknya, Zuriati kurang memberi paparan mengenai latar belakang sejarah Minangkabau, khususnya Perang Paderi, yang menurut saya menjadi latar historis terciptanya teks ini. Adalah sangat mungkin bahwa babon salinan Undang-UndangMinangkabau yang mengandung unsur Islam ini diciptakan semasa atau selepas Perang Paderi (1803-1837). Dalam teks Undang-Undang Minangkabau ini terlihat penambahan aspek keislaman yang ditukukkan kemudian setelah berkembangnya Islam di Minangkabau.
Suntingan teks (Bab V, hlm.157-296) memakai metode landasan: naskah yang dipakai adalahnaskah PNRI ML 428 (naskah H). Naskah H dipilih karena memiliki struktur yang lengkap dan mengandung pasal dalam jumlah yang banyak (hlm.157). Naskah H juga memiliki keunggulan dari segi isi dan bahasa. Dari segi bahasa, naskah H menunjukkan ketuaan. Di dalamnya banyak ditemukan kata-kata arkais dan unik yang tidak terdapat pada salinan-salinan lainnya. Selain itu, naskah H juga mengandung sedikit kesalahan yang tidak disengaja (ibid.).
Hasil alih aksara menunjukkan percampuran penggunaan bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu dalam teks Undang-Undang Minangkabau ini, yang tentunya bermanfaat juga untuk kajian bahasa dan sejarah. Selain itu, alih aksara yang diusahakan oleh Zuriati ini tentu dapat pula digunakan oleh para pemuka adat dan agama Minangkabau yang sampai sekarang masih terus berusaha mengkodifikasikan konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) secara lebih eksplisit, karena selama ini konsep itu hanya wujud dalam pepatah petitih, ungkapan, dan mamangan adat yang bersifat lisan dan, oleh karena itu, sering dikeluhkan oleh generasi Minangkabau masa kini yang sudah lebih akrab dengan tradisi keberaksaraan cetak (literacy).
(Suryadi, Leiden Institute for Area Studies, The Netherlands, http://hum.leiden.edu/lias/staff/suryadis.html). Catatan: artikel ini juga dimuat di blog Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa): http://www.manassa.org/main/sb/index.php?detail=20091228145622

Tidak ada komentar:

Posting Komentar