Ding Choo Ming; Henri Chambert-Loir; Titik Pudjiastuti (eds.), Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Manuskrip Lama: Kertas Kerja Pilihan daripada Simposium Antarbangsa Pernaskahan Nusantara di Bima, 2007. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu(ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia, 2009, x + 174 hlm., ISBN 9789839989786
Buku ini berisi kumpulan makalah yang berasal dari Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-11 yang diadakan di Bima, Nusatenggara Barat, 26-28 Juli 2007. Judul buku ini meminjam tema Simposium tersebut, yaitu Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Naskah Kuno. Hanya 12 makalah dari Simposium tersebut yang diterbitkan dalam buku ini. Tim penyunting tidak menyebutkan alasan mengapa tidak mengikutsertakan makalah-makalah yang lain.
Makalah pertama ditulis oleh Amiq dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya, berjudul Lektur keagamaan dalam pengajaran teologi Islam di pondok pesantren abad 18-20 di Indonesia (hlm.1-13). Penulis membahas naskah-naskah pesantren, khususnya kitab-kitab kuning dari lima pondok pesantren di tiga kabupaten di Jawa Timur. Menurut Amiq, catatan pias pada kitab-kitab kuning adalah bagian dari struktur teks yang maknanya tak kalah penting daripada teks intinya sendiri sebab merupakan rekaman tulen dari suatu tradisi dan dinamika keilmuan Islam yang berkembang di lingkungan institusi pendidikan Islam tradisional seperti pondok pesantren. Ini mengingatkan kita kepada buku Marginalia: readers writing in books karya H.J. Jackson (Yale: Yale University Press, 2001).
Makalah berikutnya dari Edwin Wieringa, professor Bahasa dan Sastra Asia Tenggara dan Pengkajian Islam di University of Cologne, Jerman. Judulnya: Syair berupa rintihan seorang penyalin tentang nasib malangnya: catatan mengenai BL Or.6899 (Syair Makrifat dan SyairDagang) (hlm.15-30). Penulis membuat tinjauan kritis terhadap naskah Or.6899 koleksi British Library. Menurut Wieringa, naskah itu mengandung tiga teks, bukan dua teks sebagaimana dikatakan oleh Ricklefs dan Voorhoeve (1977). Ketiga teks itu adalah: Syair Makrifat, Syair Dagang, dan satu intermezo kreatif dari seorang penyalin yang bernama Encik Umar. Wieringa juga meragukan kesimpulan peneliti sebelumnya yang menyebutkan bahwa Abdurrauf Singkellah pengarang Syair Makrifat dan Hamzah Fansuri sebagai pengarang Syair Dagang.
Pakar pernaskahan Bima dan peneliti senior di cole franaise dExtrme Orient Jakarta, Henri Chambert-Loir, menyumbang makalah yang berjudul Penulisan sejarah Bima: seekor burung yang banyak bulunya (hlm.31-42). Menurutnya, naskah-naskah Bima mengungkapkan perkembangan politik setempat, adat-istiadat, hukum, dan aspek sosial budaya masyarakat Bima masa lampau. Naskah-naskah Bima mengandung nilai historiografis yang merupakan penambahan dari yang satu atas yang lain lantaran Kerajaan Bima berturut-turut mencakup dalam berbagai wilayah kekuasaan. Demikianlah umpamanya dalam historiografi tradisional Bima terdapat mitos Nusantara, meliputi tradisi pewayangan Jawa, kronik Makassar, serta sejenis syair sejarah yang khas Melayu.
Masih soal naskah Bima, peneliti di Pusat Bahasa Jakarta, Mujizah, menyumbang makalah Dari sejarah ke seni: surat beriluminasi Sultan Ismail dari Bima (hlm.43-50). Penulis melatinkan dan membahas nilai simbolis iluminasi naskah KITLV Leiden Or.121, yaitu surat Sultan Bima ke-10, Ismail Muhammad Syah (berkuasa 1817-1854) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Alexander Gerard Baron van der Capellen. Surat itu bertarikh: Isnin, 1 Safar 1239 (7 Oktober 1823).
Juga masih seputar naskah Bima, Muslimin A.R. Effendy, kandidat doktor ilmu sejarah di Universitas Indonesia, menyumbang makalah yang berjudul Pelayaran, perdagangan dan persaingan kuasa berdasarkan manuskrip Undang-Undang Bandar Bima (hlm.51-62). Penulis membahas pola interaksi dalam pelayaran, perdagangan dan persaingan politik dan kekuasaan di Bima pada abad ke-18 dan 19 sebagaimana terefleksi dalam naskah Undang-Undang Bandar Bimayang ditulis pada abad ke-17 dan telah disalin beberapa kali pada masa sesudahnya.
Makalah berikutnya disumbangkan oleh Pramono, dosen Universitas Andalas, berjudul Penjaga tradisi yang pergi dan kearifan yang terus terjaga: kajian awal atas manuskrip karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin Alkhatib (hlm.63-75). Fokus bahasan penulis adalah naskah-naskah salinan Imam Maulana (sering dipanggil Buya Manaf), seorang ulama Syattariyah yang memiliki surau di Koto Tangah, Padang, yang baru wafat tahun 2006. Buya Manaf adalah contoh langka dari penyalin naskah Nusantara yang masih berusaha menyalin naskah-naskah keagamaan dengan tulisan tangan dan memakai aksara Jawi di tengah derasnya penggunaan teknologi komputer dan meluas serta mendalamnya pengaruh aksara Latin di Indonesia di zaman modern ini.
Jan van der Putten, dosen senior di Department of Malay Studies, National University of Singapore, menyumbang makalah yang berjudul Syair Lebai Guntur: pendidikan seks yang bergema cabul (hlm.77-91). Secara khusus penulis membahas pernyataan talak dan adab al-jimakdalam teks Syair Lebai Guntur yang naskahnya ditemukan di Pulau Penyengat dan kemungkinan disalin dari sebuah naskah bertarikh 1842. Menurut Van der Putten, deskripsi yang terkesan cabul dalam teks Syair Lebai Guntur, disertai dengan gambar-gambar adegan seronok, menyebabkan syair itu lebih layak digolongkan sebagai cerita pornografi ketimbang sebuah karya sastra Melayu klasik. Namun demikian, pendapat Van der Putten itu tentu bersifat subjektif karena naskah-naskah Melayu klasik bukan berisi cerita-cerita yang bernilai sastra adiluhung saja. Dilihat dari segi isinya, apa yang disebut sastra picisanjika boleh beranalogi kepada kehidupan sastra modernjuga ditemukan dalam kesusastraan Melayu klasik. Jika Goenawan Mohammad menulis buku, Seks,Sastra [Modern], Kita (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), maka saya kira sudah semestinya pula ditulis buku Seks, Naskah, Nenek Moyang Kita.
Direktur KITLV Jakarta, Roger Tol, menyumbang makalah yang berjudul Tunjukkan hidungmu: ilmu firasat Bugis dan tradisi primbon (hlm.93-112). Penulis menyajikan alih aksara sebuah naskah pendek asal Bugis yang berhubungan dengan ilmu firasat. Naskah itu adalah ikat ke-15 dari satu bundel naskah Bugis berkode VT 139 milik Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Jakarta, yang diperkirakan berasal dari tahun 1900. Penulis menelusuri kesinambungan dan perubahan makna yang telah terjadi pada teks itu dengan membandingkannya dengan genre yang sama, yaitu primbon Jawa yang sudah dibukukan dan yang tersaji secara online di internet.
Siti Maryam R. Salahuddin, keturunan Sultan Bima dan Pembina Museum Samparaja di Bima, yang menjadi ketua panitia daerah Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 11, menyumbangkan artikel yang berjudul Khazanah naskhah Bima dan peranannya dalam eksistensi Kerajaan Kesultanan Bima (hlm.113-21). Penulis menguraikan tradisi penyalinan naskah di Bima yang berlangsung dari satu penguasa (raja) ke penguasa berikutnya, yang memungkinkan sejarah Kerajaan Bima tidak hilang dalam pergantian zaman.
Dosen Universitas Indonesia, Syahrial, menyumbangkan makalah yang berjudul Khazanah manuskrip di Afrika Selatan dan sejarah keberadaannya: sebuah gambaran awal (hlm.123-32). Dalam artikelnya itu penulis menggambarkan koleksi naskah-naskah Melayu yang dimiliki oleh komunitas Melayu di Afrika Selatan. Penulis juga menceritakan suka-duka yang dialaminya ketika melakukan inventarisasi naskah-naskah Melayu yang ada di ujung selatan benua Afrika itu.
Penyumbang berikutnya adalah Latifah Rahmawati, dosen Universitas Sriwijaya, Palembang. Makalahnya berjudul Pendidikan kepribadian bagi perempuan dan kaitannya dengan sikap gender dalam Kitab Peryasan Bagus (hlm.133-42). Kitab Peryasan Bagus yang dibahas penulis berasal dari seorang ustazah di Pulau Bangka bernama Sofiah. Menurut Latifah ajaran-ajaran budi pekerti dan moral dalam kitab ini cenderung menempatkan perempuan subordinatif di hadapan kaum laki-laki.
Buku ini ditutup dengan makalah dari Ding Choo Ming yang bertajuk Kearifan lokal dalam naskhah Nusantara di pinggir abad ke-19 (hlm.143-67). Ding mengatakan bahwa khazanah pernasakahan Nusantara yang kaya dan beragam isinya serta luas skopnya, sebenarnya saling mengait dan saling melengkapi satu sama lain. Itulah yang membentuk kearifan lokal Nusantara, yang membedakan masyarakat yang tinggal di kawasan ini dengan puak atau ras yang tinggal di belahan dunia lain.
Di bagian akhir buku ini terdapat indeks dan biodata editor dan para penyumbang tulisan. Namun agak aneh bahwa editor tidak mencantumkan biodata Syahrial, Latifah Rahmawati, dan Muslimin A.R. Effendy.
Dalam catatan saya, ini yang kedua kalinya ATMA menerbitkan makalah-makalah yang berasal dari Simposium Manassa yang diadakan setiap tahun di kota-kota yang berbeda di Indonesia (tapi mulai sekarang diadakan sekali dua tahun). Sebelumnya, ATMA juga telah menerbitkan makalah-makalah terpilih yang telah dipresentasikan dalam Simposium Manassa ke-9 di Bau-Bau, Buton, 5-8 Agustus 2005. Makalah-makalah tersebut diterbitkan dalam Sari, Jurnal Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia, Jilid 25 (2007) dengan editor tamu Suryadi dan Titik Pudjiastuti.
Rupanya Malaysia, dalam hal ini ATMA, Universiti Kebangsaan Malaysia, sangat gesit dan amat berminat menerbitkan makalah-makalah yang berasal dari Simposium Manassa. Dalam proses penerbitannya, bahasa makalah-makalah itu diselaraskan dengan bahasa Melayu Malaysia. Mengingat terbatasnya distribusi buku-buku antar negara ASEAN (yang seringkali disebabkan pula oleh kepicikan berpikir rezim penguasa negara-negara di kawasan ini), saya agak khawatir bahwa buku ini, dan buku-buku Malaysia pada umumnya, tidak dapat diakses secara luas di Indonesia.
Saya harap bahwa minat Malaysia yang tinggi menerbitkan makalah-makalah yang berasal dari simposium-simposium Manassa, bukan berarti menunjukkan bahwa kita suka seremonial atau seminarnya saja dan tak memikirkan dimensi keilmuan yang lebih hakiki, yang tak bisa tidak memang terkait dengan buku. Akan tetapi, jika dalam simposium-simposium Manassa mendatang, tidak juga terlihat adanya minat kita di Indonesia (khususnya Manassa) untuk menyempurnakan, mengedit, dan menerbitkan makalah-makalah yang telah dipresentasikan dan diperbincangkan selama berlangsungnya simposium, jika keinginan kuat untuk menerbitkannya masih datang dari negara jiran, maka saya boleh berpraduga lebih kuat bahwa kita memang lebih suka pada sesuatu yang bersifat seremonial saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar