Rabu, 04 Februari 2015

Kevin Fogg, Perang dan Grass Root

Para Indonsianis seperti W. Lidle, Hefner dan lain-lain telah banyak menulis berbagai perkembangan politik di Indonesia mulai dari awal kemerdekaan tahun 50an, masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya dan era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto terutama analisis tentang perkembangan partai-partai Islam sebelum dan setelah pemilu pertama 1955. Akan tetapi analisis yang dikemukakan Kevin Fogg dalam suatu diskusi di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tanggal 25 November 2010 yang lalu dengan topic “Islamic Organization and Borders Politic in the 1950s”, Kevin Fogg yang sedang riset dalam persiapan studi PhD di bidang Sejarah dari Yale University USA, mencoba mendalami pendapat masyarakat pada level grassroot yang selama ini kurang disentuh oleh para Indonesianis.

Pada diskusi tersebut sebuah pertanyaan yang diajukan peserta apakah perpecahan partai Islam seperti keluarnya NU, Perti dan lain-lain dari Masyumi disebabkan oleh perbedaan mazhab yang dianut oleh pendukungnya atau karena perbedaan strategi dalam mengimplementasikan Islam dalam hubungannya dengan Negara Bangsa (Nation State), atau malah seperti ungkapan yang sering kita dengar bahwa apapun yang terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia tidak terlepas dari campur tangan Negara Adi Kuasa seperti Amerika.


Fogg mengakui secara terbuka bahwa Masyumi waktu mendukung PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berpusat di Sumatera Barat tahun 1958 menerima satu juta dolar dari Amerika, dan Fogg dengan yakin mengatakan ada buktinya pemberian tersebut bertujuan agar Sumatera memisahkan diri dari Indonesia. Terlepas apa yang diungkapkan Kevin itu benar atau salah tetapi perlu dikritsi. Dalam wawancara dengan Vinche Samuel seorang tokoh PRRI/Permesta (walaupun Vinche bukan orang Masyumi) pertengahan November yang lalu di Metro TV mengatakan bahwa pemimpin PRRI dan Permesta tidak mau menerima tawaran Amerika untuk memisahkan diri dari NKRI. Dengan demikian, bagaimanapun juga pimpinan PRRI dan Permesta adalah Pancasila sejati. Perlawanan PRRI/Permesta adalah suatu bentuk protes kepada Pemerintah Pusat terutama Soekarno yang telah cenderung ke PKI dan tidak adanya keseimbangan dalam pemerataan sumberdaya antara Jawa dan luar Jawa. Kita ingat sebuah puisi yang ditulis oleh Prawoto Mangkusasmito yang diawali dengan kalimat “Istana Tampak Siring, Demokrasi tampak miring” Prawoto seorang tokoh Masyumi merasakan benar tekanan politik yang begitu “miring” di bawah kepemimpinan Soekarno.

Seandainya waktu itu Pimpinan PRRI/Permesta yang di dalamnya ada tokoh Masyumi seperti Syafruddin Prawiranegara, Natsir bersama militer Angkatan Darat Ahmad Husen, Dahlan Djambek dan lain-lain mau menerima tawaran Amerika untuk memisahkan diri maka Sumatera bisa menjadi Vietnam kedua atau Indonesia juga seperti semenanjung Korea yang terpecah menjadi Korea Selatan dan Korea Utara. Karena pada waktu itu dunia seolah-olah terbagi dalam Blok Timur di bawah Uni Sovyet dan Blok Barat di bawah kendali Amerika.

Dari catatan ini kita melihat bahwa tokoh PRRI yang didukung oleh Masyumi, PSI dan beberapa Perwira Angkatan Darat pada hakikatnya bagi mereka NKRI adalah tetap harga mati walaupun di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto mereka dianggap sebagai pemberontak. Kekhawatiran mereka waktu itu bahwa Soekarno sudah mulai dikendalikan oleh PKI yang pada akhirnya dan ini menurut para tokoh Masyumi akan membahayakan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak diakui oleh Soekarno akan tetapi pada akhir 1965 dengan peristiwa pemberotakan G30S/PKI itu kekhawatiran tersebut terbukti.


Epilog


Sebuah perpecahan di tingkat elit politik apalagi ditumpangi kepentingan beberapa perwira militer walaupun tujuannya baik akan tetapi sebuah konflik yang berakibat terjadinya peperangan antar bangsa sendiri atau perang saudara dampaknya sangat mengerikan sama seperti perang yang lain terutama kepada anak-anak. Bagi rakyat Sumatera Barat tempat terjadi perang antara PRRI dengan Pemerintah Pusat dengan kekalahan pada tentara PRRI sangat memilukan. Setelah kekalahan PRRI jabatan-jabatan pemeritahan banyak diisi oleh orang-orang PKI yang secara sistematis menghancurkan moral dan harga diri anak Minangkabau yang sangat kuat berpegang dengan adat yang bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah (Islam).

Hal tersebut diakui oleh Prof Harun Zain Gubernur Sumatera Barat diawal Orde Baru mengatakan bahwa yang harus dibenahi di daerah Sumatera Barat bukan hanya sarana dan prasarana akan tetapi yang paling penting adalah harga diri anak Minang yang sudah hancur. Buktinya bisa kita lihat dari beberapa ungkapan miris dari masyarakat Minang yang berada di Jakarta. Contoh kecil pendapat Bapak Sofyan Hasan tinggal di Tanah Abang yang memberikan nama kepada 5 di antara 6 putrinya dengan awalan SRI, nama yang biasa bagi putri suku Jawa dan nama Sunardi dan Sunarto kepada dua orang putranya, nama yang tidak biasa bagi anak Minang waktu itu. Kenapa memberi nama tersebut kepada putra putrinya dengan tenang beliau menjawab agar gampang mencari kerja nanti.

Banyak masyarakat Minang yang merantau ke Pulau Jawa terutama Jakarta tidak pede (percaya diri) lagi memberikan nama kepada putra putrinya yang pada umumnya bernuansa Minang dan Islam. Tentu saja contoh kecil tersebut tidak bisa mewakili (perlu penelitian lebih lanjut) akan tetapi demikianlah kenyataan yang banyak penulis jumpai. Contoh lain seorang pengusaha waktu mendaftakan perusahaannya ke Notaris tahun 70’an dengan nama PT Trias Andalas dianjurkan oleh notarisnya agar tidak memakai kata Andalas yang berarti Sumatera, akibatnya bisa-bisa tidak dapat order nantinya.


Akhirnya, sebegitu jauh akibat yang ditanggung oleh lapisan bawah (grass root) dari peperangan dengan dalih apapun yang disebabkan perpecahan pimpinan partai, termasuk partai Islam dan pemerintah yang perlu menjadi catatan bagi Kevin Fogg, sedangkan sebagian para elit banyak yang hidup dengan tenang karena mendapat kompensasi. Wallahu a’lam bissawab (Zamris Habib), 

Drs. Zamris Habib, M.Si, saat ini mengajar Ilmu Komunikasi, Media dan Teknologi Pendidikan pada UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta dan UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta) sejak tahun 1995. Dari tahun 1977 bekerja di Pustekkom (Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi) Departemen Pendidkan Nasional sampai pensiun pada awal tahun 2006. Selama di Pustekkom pernah menjabat Kabid Analisa dan Evaluasi (1998), dan Kabid Pengembangan Model Pembelajaran (2001) Sebelumnya pada tahun 1992 pernah menjabat koordinator Program Siaran Radio Pendidikan (SRP) untuk penataran guru SD dan program SRP untuk penyetaraan D2 guru SD. Pria yang lahir 8 Januari 1950 di Situjuh Payakumbuh adalah lulusan program Magister Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia ini beberapa kali mengikuti training di bidang pendidikan jarak jauh/terbuka dan komunikasi di University Western of Australia Perth, University of Technology Sidney, Warner Bros (WB) Film Production di Gold Coast Australia; training tetang technology applications for education di Innotec Center, Manila Philipina, dan NHK Studio, Ashahi Shimbun, University of Tokyo, Jepang. Aktif mengikuti seminar nasional/internasional teknologi pendidikan, distance/open education, e-learning, dll. Sewaktu mahasiswa menulis di berbagai media, terakhir redaksi Jurnal TEKNODIK dan Buletin FORUM KOMUNIKASI Pustekkom sd. 2005. Anak Minang yang bergelar Datuk Paduko Rajo ini mempunyai motto hidupnya “Bahwa dibalik kesulitan itu terdapat kemudahan, dan dibalik kesulitan yang sama terdapat kemudahan2 yang lain, dan setelah selesai mengerjakan sesuatu maka mulai mengerjakan yang lain serta Kepada Allah selalu berharap”. Motto ini terinspirasi dari Al Qur’an surat Al Insyirah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar